Melatih Kesimbangan Otak Kanan dan Otak Kiri

Peserta festival egrang saat berjalan disaksikan masyarakat Kota Batu. (Fathul/MalangVoice)

MALANGVOICE – Permainan tradisional sudah mulai ditinggalkan. Saat ini, anak-anak dimanjakan dengan game cyber yang mengurangi pergaulan sosial mereka.

Hal inilah yang menjadi dasar diadakannya Festival Egrang dalam rangka HUT Kemerdekaan RI ke-70 oleh Pemerintah Kota Batu pada Rabu (19/8) siang hingga sore.

“Saat ini anak-anak kecil lebih suka bermain dengan gadget mereka dibandingkan dengan permainan tradisional, karena itulah kita menggagasnya,” kata Ketua Peringatan Hari Besar Nasional (PHBN) Kota Batu, Eni Rahayuningsih.

Maka dari itu, partisipasi siswa-siswi sekolah di Batu ini sangat diapresiasinya. Karena ternyata, masih banyak yang peduli dengan budaya tradisional yang dimiliki bangsa Indonesia.

Jika dipikirkan secara mendalam, egrang bukan hanya sebuah permainan penghilang suntuk. Ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari permainan tradisional ini.

Bila kita perhatikan, orang yang bermain egrang membutuhkan keberanian lebih saat hendak menaiki bambu penopang. Setelah naik, ia harus terus maju karena jika berhenti maka ia akan jatuh.

Seperti yang dijelaskan oleh Wakil Ketua II PHBN Bidang Non Kenegaraan Kota Batu, Drs Achmad Suparto. Bahwa bermain egrang membutuhkan kemampuan untuk menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri.

“Dalam dunia olahraga seni bermain egrang merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara gerak motorik dan psikomotor,” ungkap Achmad kepada MVoice, Rabu (19/8).

Ia melanjutkan bahwa dalam bermain egrang, dibutuhkan satu kesatuan gerak tubuh dan intelektual sehingga bisa berdiri, berjalan, dan pada akhirnya adalah tercapainya tujuan.

Seni egrang memang jenis permainan yang populer di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Bahkan di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan beberapa daerah di Sulawesi, egrang masih berkembang hingga saat ini.

Sayangnya, belum ada literasi yang menyebutkan asal muasal permainan egrang. Namun dari sumber di internet, disebutkan bahwa “egrang” berasal dari bahasa Lampung yang berarti terompah pancung yang terbuat dari bambu bulat panjang.

Sementara dari daerah Sumatera Barat, egrang dikenal dengan nama “tengkak-tengkak” dari kata Tengkak atau pincang. Untuk bahasa Bengkulu disebut Ingkau yang berarti sepatu bambu.

Ada juga yang menyebut egrang sebagai Jangkungan di Jawa Tengah yang berasal dari nama burung berkaki panjang. Lalu dalam bahasa Banjar di Kalimantan Selatan, egrang disebut Batungkau.

Salah satu warga yang ikut menikmati Festival Egrang tersebut, Evi, mengakui bahwa permainan egrang membutuhkan ketekunan karena ia sering menyaksikan anaknya bermain.

“Anak saya belajar tiap hari kalau di rumah. Ia butuh seimbang dan latihan terus menerus. Saya setuju bahwa Egrang bukan sekedar bermain, apalagi di motori oleh guru-guru sekolah,” tandasnya.-