Kekuatan Covid-19 Mengubah Imajinasi Realita dan Konsep Iman

Oleh: Asra Bulla Junga Jara., S.I.Kom

Kekuatan imajinasi manusia selalu berada dalam dua dimensi kehidupan yang berbeda yakni dimensi supranatural dan realita. Faktor kekuatan supranatural banyak dipengaruhi oleh dimensi astral (metaphysical) untuk mengetahui bentuk terrestrial sebagai kenyataan di masa yang akan datang. Sedangkan dimensi realita terus mempengaruhi manusia berspekulasi melalui kemampuan metafisik dengan membandingkan kehidupan saat ini dan memberi prediksi terhadap kehidupan yang akan terjadi di kemudian hari. Wujud dari kedua kemampuan tersebut lebih sering diilustrasikan melalui beberapa cerita atau film-film imajinasi.

Beberapa film animasi seperti film kartun “Spongebob Squarepants” yang menggambarkan kondisi sampah bawah laut dan mengilustrasikan dampak yang akan terjadi bagi kehidupan biota laut di kemudian hari. Selain film kartun ada juga film imajinasi tiga dimensi “Transformer” yang menggambarkan kekuatan imajinasi manusia mentransformasi fungsi mobil menjadi robot.

Kekuatan imajinasi lainnya seperti “mobil terbang” pernah diramal oleh Henry Forld pada tahun 1940 namun baru diwujudkan pada tahun 2012 oleh perusahan Amerika Terra fugia. Selain mobil terbang, wujud manuasia terbang juga bisa kita saksikan meskipun masih menggunakan alat bantu seperti mesin Jet yang digantung pada punggung dan ada juga yanf ditempelkan pada telapak kaki manusia. Mula-mula cerita di atas dianggap hanyalah khayalan manusia dan mustahil bisa diwujudkan, namun kini semua itu telah terbukti dalam dunia nyata. Beberapa contoh imajinasi ekstreme lainnya terlihat dengan jelas ketika Amerika berhasil meluncurkan “pesawat tanpa awak” (drone).

Namun demikian, kekuatan imajinasi tak selamanya berdampak positif bagi manusia. Penyebaran berita hoaks misalnya adalah hasil imajinasi manusia dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi yang ada. Kini penyebaran berita hoaks telah beralih menuju penyebaran serangan virus corona (covid-19). Virus ini berawal dari ibu kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok.

Memulai tulisan ini saya mengucapkan turut berbelasungkawa bagi keluarga para korban jiwa akibat wabah virus corona (Covid-19). Tulisan ini adalah sebentuk refleksi atas wabah virus corona yang menjadi duka dan kecemasan dunia saat ini.

Di tengah kecemasan dan duka mendalam atas perisiwa ini, saya terdorong untuk menuliskan betapa pentingnya kesadaran kita akan bahaya virus yang mengancam kesehatan dan menantang iman, cara beragama dan cara bernalar kita.

Perlu saya tegaskan, tulisan ini tidak bermaksud untuk memaksakan korelasi logis wabah ini dengan cara hidup beriman dan beragama, tetapi lebih sebagai pembacaan reflektif yang berguna bagi penataan kehidupan beriman dan beragama yang tidak mengabaikan peran pertimbangan akal sehat guna mengantisipasi bahaya yang mengintai kehidupan kita hari ini.

Beberapa hari lalu dalam sebuah postingan di salah satu media sosial seorang teman menulis demikian, “Buat apa takut corona. Hidup dan mati ada di tangan Allah. Allah pasti tidak akan mengirimkan virus untuk umatnya. Mengapa kita dilarang pergi ke tempat-tempat ibadah? Allah tidak akan mengirim virus ke tempat-tempat ibadah”.

Postingan ini sejenak membuat saya berpikir dan bertanya, ada apa dengan cara beriman dan beragama kita? Dan kalaupun iman dipandang menjamin keselamatan dari wabah Covid-19, pertanyaannya, dengan varian apa kita bisa menentukan keakuratanya?

Pertanyaan-pertanyaan ini sulit dijawab sebab tidak proporsional dan terkesan mengandung bahaya kesesatan berpikir. Postingan ini tentu tidak bisa dijadikan pedoman generalisasi tetapi upaya untuk mengubah pola berpikir “sesat” di tengah wabah ini adalah mendesak dan itulah yang saya maksudkan dalam tulisan tersebut.

Dalam data situs resmi Covid-19 di Indonesia pertanggal 31 Maret 2020 yang terdapat yang positif ada 1.414,sembuh 75 orang , serta 122 orang meninggal dunia. Fakta lapangan dan laporan statistik ini menunjukkan bahwa pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama dalam memutus pesebaran virus melalui penetapan libur, pemerikasaan kesehatan dan Physical Distancing yakni menjaga jarak dan menghindari keramaian mengingat laju pesebaran covid-19 yang cukup cepat dan signifikan. Bentuk-bentuk penanganan dan upaya pencegahan ini urgen untuk diperhatikan dan dilaksanakan. Kembali pada isi postingan tadi, saya ingin mengatakan bahwa kesadaran kita untuk bekerjasama dalam memutus laju pesebaran virus adalah hal yang sangat diperlukan saat ini.

Pelarangan ke tempat ibadah sebagai salah satu sentrum keramaian tidak berarti bahwa pemerintah berusaha untuk membatasi prinsip-prinsip iman dan tata ritual agama kita dalam arti tegas dan esensil. Hal yang sama berlaku juga ketika pemerintah menetapkan social distancing. Penjarakan dalam interaksi sosial (Physical Distancing) tidak dimaksudkan oleh pemerintah untuk membatasi relasi sosial kita dalam arti tegas. Penetapan-penetapan ini tak lain adalah upaya untuk mencegah peningkatan jumlah korban.

Iman dan Nalar Keagamaan Perluh Berpikir Realita

Beberapa waktu belakangan ini, secara khusus dalam konteks Indonesia, ruang publik kita dijejali dengan berbagai isu primordial suku, agama dan ras yang memantik rupa-rupa aksi secara rasional maupun irasional. Hal yang paling nampak adalah terjadinya retakan religius-keagamaan berbau politis yang berimbas pada terjadinya beberapa konflik antar umat beragama.

Di sisi lain, jawaban atas ragam persoalan berbangsa dan bernegara tak jarang dicari pada ruang-ruang privat keagamaan. Di sinilah letak kekeliruan berpikir dan bertindak yakni ketika jawaban atas persoalan publik dicari dalam ruang-ruang privat keagamaan.

Saya mengemukakan persoalan ini sebagai pembanding untuk melihat bagaimana cara berpikir kita masih terhimpit di ruang-ruang sempit. Kita terjebak pada ekstrim fideisme sebagai ekspresi fundamentalisme iman keagamaan.

Kita terperosok jauh dalam “kebutaan” beragama dengan membangun persepsi bahwa cukup dengan iman dan pelaksaan ritual keagamaan, keselamatan dan kesehatan telah menjadi milik paripurna yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun dan apapun termasuk Covid-19. Pola pikir seperti ini perlu segera dibenahi.

Beriman memang penting tetapi di pihak lain mengunakan akal sehat dalam menimbang dan memutuskan apa yang terbaik bagi diri dan kesehatan juga penting. Thomas Aquinas, salah satu filsuf sekaligus teolog mengemukakan betapa pentingnya peranan akal budi dan iman.

Keduanya berasal dari Tuhan. Korelasi keduanya membantu manusia untuk mencapai pengertian tertinggi akan manusia di satu pihak dan Allah di lain pihak. Iman di satu pihak menyempurnakan pemahaman manusia yang tak dapat dijangkau akal budi tetapi di pihak lain juga akal budi membantu manusia dalam memahami iman juga dalam tataran praktis pelaksanaannya.

Wabah Covid-19 menjadi tantangan bagi iman dan nalar kita. Di satu pihak kita mengandalkan iman dan prinsip-prinsip keagamaan sebagai upaya membangkitkan kesadaran sebagai manusia yang terbatas dan membutuhkan Tuhan seperti berdoa tetapi serentak di pihak lain, kita ditantang untuk secara rasional memberdayakan akal budi dalam membangun pola pikir yang aktif dan pro-aktif guna menjamin kesehatan dan keselamatan kita yang sedang terancam seperti menghindari keramaian dan sebagainya.

Beriman tanpa berakal adalah sesat dan berakal tanpa beriman adalah buta. Mari berbenah dan tetap menjaga kesehatan! Semoga.

*) Asra Bulla Junga Jara., S.I.Kom, Alumni Universitas Trbuhuwana Tunggadewi (Unitri) Malang Jurusan Ilmu Komunikasi (Konsentrasi Jurnalistik) S1 Ilmu Komunikasi