Kartini di Tengah Covid-19, Refleksi Masa Perjuangan Kaum Perempuan

Oleh: Eulrasia Kristi

Selamat Hari Karitini (21 April 1879 sampai 21 April 2020). Selamat merayakan kehidupan sebagai perempuan-perempuan pemberi hidup, khususnya untuk semua perempuan yang saat ini sedang berjuang antara menolong orang lain di ambang batas kehidupan dengan melindungi diri sendiri. Semoga kalian selalu diberikan hati yang besar, semangat yang tidak pernah usang, dan harapan yang selalu mengiringi langkah juang.

Dalam merefleksikan semangat perjuangan Kartini tentunya kita patut memberikan apresiasi dan penghargaan terhadap perempuan-perempuan yang saat ini menjadi garda terdepan pejuang melawan pandemi covid-19, yaitu para tenaga kesehatan. Keteguhan dan ketegaran yang diwarikaskan oleh seorang Kartini dalam perjuangannya menjadi sebuah pemaknaan kontekstual yang dilanjutkan oleh perempuan-perempuan yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan terkhususnya di Indonesia pada saat ini.

Memiliki keteguhan yang kuat terhadap tugas dan panggilan, bukan hanya sebatas pada sebuah profesi. Tetapi misi panggilan atas nama kemanusiaan serta ketegaran hati untuk tetap setia pada konsekuensi yang akan diterima. Beberapa konsekuensi yang harus dialami mereka adalah tidak bertemu keluarga, melawan rasa khawatir dan takut, penolakan akibat stigma di masyarakat, serta nyawa mereka sendiri.

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2019, jumlah perempuan sebagai tenaga kesehatan secara global mencapai 70 persen dari total keseluruhan tenaga kesehatan. Di Asia Tenggara, mayoritas tenaga kesehatan adalah perempuan, terdapat 79 persen perempuan yang berprofesi sebagai perawat dan 61 persen sebagai dokter.

Di Indonesia, berdasarkan data Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) per April 2017 tercatat jumlah perawat sebanyak 359.339 orang yang terdiri dari 29 persen atau sebanyak 103.013 orang perawat laki-laki dan 71 persen atau sebanyak 256.326 merupakan perempuan. Jika dipresentasikan berdasarkan jenis fasilitas pelayanan kesehatan, perawat yang bekerja dirumah sakit adalah sebesar 58,26 persen dan 29,46 persen pada puskesmas (Kemeterian Kesehatan 2017).

Meningkatnya jumlah pasien yang terkena virus corona sampai saat ini tentunya tidak sebanding dengan jumlah perawat atau tenaga kesehatan yang tersedia. Rasio perawat terhadap 100.000 penduduk Indonesia pada tahun 2014 sebesar 94,07. Pada tahun 2015, angka ini menurun menjadi 87,65 perawat per 100.000 penduduk, serta pada tahun 2016 adalah 113,40 per 100.000 penduduk.
Rasio ini masih jauh dari yang ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019 sebesar 180 perawat per 100.000 penduduk (Kementerian Kesehatan 2017).

Hal inilah yang menjadi kendala dalam pemutusan mata rantai penangan covid-19 yang bukan hanya dirasakan oleh Indonesia, tetapi juga seluruh dunia. Permasalah kekurangan tenaga kesehatan dengan sendirinya mengakibatkan beban jam kerja melampaui batas normal bagi tenaga kesehatan terutama bagi yang perempuan. Disamping itu, dampak psikologis, ekonomi dan stigma sosial, kesehatan dan keselamatan juga merupakan faktor paling penting. Berdasarkan catatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), hingga 6 April terdapat 24 dokter meninggal karena Corona. Tujuh orang diantaranya merupakan perempuan.

Sampai saat ini, terdapat persoalan mendasar terkait kebutuhan terhadap Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga kesehatan di berbagai rumah sakit. Diketahui APD untuk tenaga kesehatan masih kurangan dan sangat langka. Tenaga medis mulai kekurangan APD untuk tangani pasien terkena virus corona.

Melonjaknya angka pasien nyaris tak seimbang dengan kesiapan pemerintah dalam menyediakan APD, seperti yang terjadi pada Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito Yogyakarta (Tempo 2020). PPNI juga menyebutkan bahwa masih dibutuhkannya ribuan alat pelindung diri (APD) bagi anggotanya yang bertugas di 34 rumah sakit rujukan Covid-19 di Jawa Barat. Kebutuhan APD tersebut dianggap mendesak keberadaannya, mengingat perawat sebagai petugas medis yang kontak langsung dengan pasien.

Seperti yang telah tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2010, bahwa APD merupakan prosedur utama dalam kegiatan pelayanan kesehatan untuk mengantisipasi risiko keselamatan dan kesehatan kerja para petugas. Sehingga penyediaan APD merupakan kewajiban perusahaan pemilik fasilitas kesehatan.

Untuk itu sangat diharapkan peran pemerintah dapat mengatur tentang persoalan ketersediaan APD dan juga mekanisme harga yang berlaku di pasaran. Sehingga harga APD tidak melonjak tinggi. Pemerintah juga diharapkan dapat memberikan perhatian dengan sebaik-baiknya terhadap pejuang garis terdepan melawan Covid-19 untuk memastikan kebutuhan alat kesehatan dan keselamatan yang tetap terjamin.

Disamping itu, kitapun tidak dapat melupakan perempuan-perempuan dibalik tersedianya kebutuhan APD bagi tenaga medis. Mereka perempuan yang masih bekerja di dalam ancaman dampak Covid-19 demi untuk keselamatan pasien dan perempuan lain, adalah salah satu bentuk kontribusi paling nyata bagi kartini masa kini.

Terdapat sekitar 60 persen UMKM di Indonesia yang memproduksi masker, baju pelindung, dan hand sanitizer juga diperankan oleh perempuan. Berdasarkan rilis Kementerian Koperasi dan UKM, telah dilakukannya kerjasama dan membantu distribusi penjualan produk para Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang memproduksi Alat Pelindung Diri. Di Yogyakarta terdapat UMKM yang beralih produksi ke pembuatan masker yang dikerjakan oleh seluruh tenaga kerja yang adalah perempuan.

Tidak lupa teruntuk perempuan-perempuan pengambil kebijakan yang melakoni peran pucuk pimpinan sebagai pejabat publik seperti Menteri, Gubernur, Walikota dan Bupati guna penanganan dampak Covid-19, dalam melakukan kebijakan-kebijakan strategis untuk mengatasi persoalan siklus perputaran ekonomi daerah, kesejahteraan masyrakat, permasalahan kesehatan dan sosial dan dampak lainnya.

Para perempuan pekerja kreatif seperti influencer yang memberikan kontribusi mereka melalui kampanye positif melalui media sosial bagi masyarakat Indonesia seperti tetap stay at home, penggunaan masker, galang donasi untuk membantu tanaga kesehatan maupun masyarakat yang terkena dampak Covid. Perempuan pekerja sosial yang menggerakan lembaga-lembaga bantuan sosial serta para jurnalis yang senantiasa bertugas meliput di tengah wabah Covid. Begitu juga para pengusaha yang mengubah skema produksi untuk membantu kebutuhan APD para tenaga medis, seperti perancang busana Anne Avantie yang memproduksi dan menyumbangakan APD secara gratis (www.kompas.tv). Hal itu merupakan bentuk pemaknaan paling konstekstual terhadap perjuangan Kartini diikuti oleh perempuan Indonesia saat ini.

Untuk perempuan tenaga kesehatan, pengambil keputusan, para pekerja formal dan informal, ibu rumah tangga, perempuan aktivis mahasiswa, pekerja kreatif, jurnalis, pengusaha serta semua perempuan Indonesia, selamat memaknai kembali perjuangan Kartini dengan pengorbanan paling tulus yang dilakukan oleh kalian semua pada saat ini. Semangat perjuangan mengiringi kita sampai keadaan kembali membaik menjadikan Indonesia kuat dalam menghadapi ancaman pandemi covid-19. Kehidupan selalu membutuhkan energi positif para perempuan penjaga kehidupan. Selamat merayakan, Selamat berjuang. Kebaikan mengikuti.

*) Eulrasia Kristi, Mahasiswi Semester 4 Jurusan Ilmu Komunikasi (Konsentrasi Jurnalistik) Universitas Tribhuwana Tunggadewi (UNITRI) Malang.