Jeruk Dekopon, Buah Asal Jepang yang Jarang Dibudiyakan Petani Kota Batu

Kepala Balitjestro, Harwanto menunjukkan buah jeruk dekopon yang dibudidayakan di areal Balitjestro, Junrejo, Kota Batu (Balitjestro/Malangvoice)

MALANGVOICE – Mungkin masih belum banyak yang mengetahui jeruk asli Jepang bernama dekopon.

Jeruk ini hadir pertama kali di Indonesia pada tahun 2016 lalu dibudidayakan pertama kali dilakukan Pemda Bandung dengan nama DN Sabilulungan. Meski begitu, jeruk terus tersebut belum banyak memikat petani Kota Batu.

Kepala Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropis (Balijestro), Harwanto mengatakan, jeruk tersebut pertama kali masuk ke Indonesia, pihaknya hanya mengambil 300 mata tempel dari Jepang. Setelah itu, ia mengembangkan dan memperbanyak sendiri.

“Jeruk unik ini memiliki ukuran yang besar. Bahkan untuk satu kilogramnya, hanya diisi 3 buah jeruk Dekopon saja. Kualitas buah yang baik dengan rasa manis sedikit masam, dinilai menjadi nilai plus tersendiri bagi jeruk ini,” jelas Harwanto, Jumat (28/1).

Selain itu, keunggulan lain dari buah jeruk ini bisa berbuah sepanjang musim. Oleh karena itu, metode bujangseta (buah berjenjang sepanjang tahun) sangat cocok diterapkan untuk buah jeruk ini. Dengan menerapkan metode tersebut, pohon akan mampu berbunga dan berbuah secara bersamaan sepanjang waktu.

Saat ini, di Indonesia benih jeruk dekopon sudah mulai disebar luaskan. Sayangnya, jeruk yang memiliki ciri khas mahkota di bagian kepala ini masih belum terlalu familiar di masyarakat. Faktor utamanya, karena masih jarang petani yang membudidayakan. Selain itu, varietasnya termasuk masih baru. Di Kota Batu hanya ada dua, tiga petani yang mencoba peruntungan membudidayakan jeruk dekopon.

Hal ini dikarenakan, buah tersebut masih minim permintaan karena belum begitu banyak dikenal.

“Buah jeruk itu juga masih baru. Sehingga masih belum banyak permintaan. Oleh karena itu, kami harus menyesuaikan dengan keinginan konsumen,” katanya.

Lebih lanjut, saat ini benih ilegal jeruk tersebut sangat banyak ditemui di petani. Padahal hal tersebut sangat dilarang keras. Menurutnya, petani harus membeli benih berlabel untuk mendapatkan hasil maksimal. Karena, benih legal sudah dipastikan bebas dari penyakit.

Jika pohon sehat, maka produksi akan selalu konsisten. Sebaliknya, apabila pohon terserang hama penyakit, maka hasil yang didapatkan tidak bisa maksimal. Alasan lainnya, karena masa produktif benih berlabel lebih panjang dibandingkan benih abal-abal.

“Masa umur pohon dengan benih ilegal hanya bisa bertahan dalam kurun waktu 5 tahun. Tapi, benih berlabel bisa produktif hingga 20 tahun lamanya. Itulah yang menjadi alasan tetap dilakukannya kampanye untuk penggunaan benih legal,” katanya.

Penjagaan kualitas dan varietas buah menjadi hal penting didalam pembudidayaan jeruk. Karena penurunan kualitas akan berpengaruh juga pada dampak ekonomi para petani. Ia berharap, jeruk unik bukan dipergunakan sebagai kesenangan semata, namun juga bisa memiliki nilai ekonomi.

Pemenuhan pengadaan jeruk menjadi impian untuk menyokong swasembada pangan. Mengingat, pengadaan barang yang masih kurang dari petani lokal. Menyebabkan impor masih dilakukan hingga kini.

“Buah ini sebenarnya juga memiliki segment pasar luas. Tapi baru beberapa saja yang bisa membaca peluang itu,” tandasnya.(der)