Jebakan Dikotomi Tradisi-Modern pada Kemajuan Pertunjukan Teater Malang Raya

Oleh:  wishnumahendra

Ketika situasi global sedang menghadapi perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat. Sudah menjadi barang tentu Indonesia terkena dampaknya, atau sekurang-kurangnya sudah saatnya untuk bersiap untuk ikut ke dalam arus kemajuan tersebut. Gagasan terkini tentang kemajuan teknologi informasi tersebut berkembang ke tahap keempat, yang kemudian disebut dengan Revolusi Industri 4.0. Secuplik tentang Revolusi Industri 4.0 dari buku The Fourth Industrial Revolution oleh Klaus Schwab disebutkan sebagai satu kondisi revolusioner dalam bidang teknologi informasi yang tidak hanya saja pintar, melainkan juga semakin terhubung dan terintegrasi. Bahkan ruang lingkup perkembangannya semakin terpadu lintas fisik, digital dan biologis, sehingga menyebabkan perkembangan teknologi berjalan begitu cepat dari revolusi industri sebelumnya. Menarik untuk melihat bagaimana perkembangan kesenian seiring dengan momentum Revolusi Industri 4.0, baik sebagai sebuah peluang ataupun tantangan.

Tulisan ini selanjutnya akan secara khusus melihat potret kemajuan pertunjukan teater di Malang Raya. Tentu tidak serta merta mengkaitkan dengan momentum Revolusi Industri 4.0, namun justru melihat visibilitas dari kesiapan pelaku seni pertunjukan terhadap momentum tersebut. Jika ditarik pada tingkat negara, Pemerintah Indonesia (via KEMENPERIN) berupaya untuk mengejar daya saing regional dengan menerbitkan Making Indonesia 4.0 melalui lima sektor utama (makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia dan elektronik), sayangnya tidak ada sektor seni dalam dokumen tersebut yang dijadikan daya saing negara dalam hal ini. Meskipun begitu, Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) menetapkan target kontribusi ekonomi kreatif pada perekonomian nasional mencapai RP. 1,2 Triliun. Harapannya industri seni pertunjukan dalam kontribusi tersebut dapat tumbuh 9,54% dengan tanggung jawab BEKRAF untuk membangun ekosistem ekonomi kreatif yang kohesif, yang dapat mempertemukan ide/produk, produksi, perlindungan HKI, pemasaran dan penjualan.

Merujuk pada segi otoritas negara beserta kebijakan turunannya tentu ada tugas besar untuk melihat bagaimana kesiapan seni pertunjukan di Malang Raya menghadapi era yang begitu kompetitif. Pembangunan ekosistem yang disebutkan sebelumnya tentu membutuhkan waktu untuk dapat berjalan sebagai sistem yang hidup secara aktif dan tidak membuat pelaku seni hanya berlaku pasif. Salah satu potret yang menarik adalah melihat bagaimana lembaga pendidikan merespon hal ini. Pengalaman penulis ketika mengikuti Forum Diskusi Kajian Seni dan Budaya Teater Universitas Brawijaya “Kamisan di Teater EGO” hari Kamis, 18 Oktober 2018 justru menyajikan dialektika yang usang. Pelaksanaan diskusi tersebut bagaimanapun tetap harus diapresiasi sebagai pengayaan ide dan gagasan, namun dengan tema yang diajukan yakni “Spirit Lokalitas dalam Teater Modern” peserta diskusi sayangnya justru terjebak dalam menelaah pembeda atau karakteristik khusus antara konteks tradisi dan modern. Seakan-akan pembedaan tradisi dan modern pada era yang sangat kompetitif ini menjadi tembok tebal untuk menentukan bagaimana pelaku seni pertunjukan teater melakukan produksi atau tidak.

Tulisan Abdul Malik dalam kolom Kompasiana-nya berjudul “Didik ‘Meong’ Harmadi dan Dunia Teater di Malang” menyebutkan bahwa Sastrawan Afrizal Malna dalam sebuah diskusi pernah mengusulkan Malang menjadi laboratorium teater. Alasannya cukup logis mempertimbangkan banyaknya kelompok teater di sekolah/kampus dan juga kelompok teater yang independen. Jika memang Malang diandaikan sebagai sebuah laboratorium teater, tentu sudah menjadi suatu keharusan bagi pelakunya untuk terus melakukan eksperimen agar dapat menghasilkan karya yang baik. Eksperimen-eksperimen tersebut tentu menuntut pelakunya untuk terus aktif berkarya sembari menambah jam terbang dan kualitas diri. Arah pikiran tentang sebuah pertunjukan menempatkan sutradara sebagai tokoh sentral juga harus perlahan digeser ke arah pekerjaan tim. Mutia Husna Avezahra (Pegiat di Teater Komunitas) dalam tulisannya “Seberapa Kolektif Panggung Seni Pertunjukan Teater Kota Malang” pada kolomnya di Malang Voice juga menyadari bahwa dalam sekian waktu berkecimpung dalam teater ia mendapati bahwa panggung seni pertunjukan saat ini tidak lagi sutradara-sentris melainkan akomodasi dan kolaborasi banyak pihak, yang selanjutnya ia sebut sebagai kerja kolektif.

Poin pentingnya ialah sebagai suatu potret dari dunia teater di Malang Raya, situasi yang dihadapi saat ini setidaknya pelaku seni pertunjukan sama-sama mengamini bahwa Malang memang sebuah laboratorium teater yang sangat potensial berkembang terus. Posisi sutradara yang sangat hirarkis berangsur-angsur mulai ditempatkan sebagai pihak yang lebih setara sebagai kerja tim. Pengalaman penulis di Ruang Karakter juga melihat peran Pimpinan Produksi bukan lagi subordinat dari sutradara seperti yang dilakukan di kelompok teater di Malang Raya kebanyakan, melainkan memiliki peran yang sudah seharusnya dikembalikan sebagai ‘pemimpin’ dalam jalannya produksi. Sementara ide dari laboratorium ‘Malang’ yang begitu besar dan potensial ini sayangnya tidak diikuti dengan gagasan pengembangan seni pertunjukan ke arah yang berkemajuan. Terbukti dialektika gagasan yang terjadi masih berkutat pada tipologi tradisi dan modern, padahal dalam konteks kemajuan teknologi informasi mestinya memiliki arah yang berbeda. Harusnya pembedaan tradisi dan modern dicukupkan sebagai sebuah pilihan saja oleh pelaku seni, saat ini mestinya dialektika gagasan diarahkan pada pemanfaatan teknologi serta upaya menjaga konsistensi berkarya di panggung pertunjukan. Bagaimanapun seseorang ataupun kelompok seni dikenal karena karyanya, maka itulah satu-satunya penjembatan antara gagasan kreasi yang dimiliki dengan penikmatnya.

Pelaku seni, tidak hanya pada seni pertunjukan, perlu merubah cara pandangnya pada situasi terkini yang terjadi di dunia. Hanya ada dua pilihan, ikut maju berkembang dengan momentum yang ada atau tetap bertahan pada sekat-sekat yang sangat subjektif kemudian ditinggal kemajuan dunia. Hal sederhana yang paling mungkin dilakukan adalah membuka diri pada kemajuan tersebut dan menyadari bahwa banyak cara yang harus dikerjakan untuk ikut membangun ekosistem seni pertunjukan di Indonesia termasuk di Malang Raya. Jangan sampai pelaku seni masih terjebak pada dikotomi tradisi dan modern, tanpa menyadari tantangan ke depan yang begitu kompetitif dengan beragam sajian pilihan.

*) wishnumahendra, Manajer Produksi di Ruang Karakter – wishnu.mahendra@gmail.com