MALANGVOICE– Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) jadi tuan rumah Extractive Transparency Day 2025, Kamis (20/11). Forum nasional yang digelar Kementerian ESDM itu mengulik persoalan yang terus berulang di daerah tambang, terutama soal ketimpangan dan minimnya manfaat ekonomi bagi warga sekitar.
Dalam diskusi, akademisi dan pemerintah sepakat satu hal. Perusahaan tambang tak boleh hanya mengejar profit. Mereka wajib serius menjalankan pemberdayaan masyarakat agar warga sekitar tidak sekadar jadi penonton.
Dosen FEB UB, Prof Dwi Budi Santoso, memaparkan akar masalahnya. Teknologi pertambangan menuntut keahlian tinggi, sementara masyarakat lokal rata-rata masih bertransisi dari sektor pertanian.
Lapas Malang Serahkan Anggrek “Dendrobium Agus Andrianto” di FLOII Expo 2025
“Masyarakat sekitar tambang tidak bisa langsung terlibat karena keterbatasan kompetensi, pendidikan, dan keterampilan. Perusahaan akhirnya membawa tenaga kerja dari luar,” ujarnya.
Situasi ini membuat warga tak menikmati nilai ekonomi tambang. Kesejahteraan pun berjalan di tempat. Padahal, Undang-Undang Minerba mengamanatkan perusahaan menjalankan program pemberdayaan masyarakat (PPM) untuk membantu transformasi ekonomi.
“Pemberdayaan itu butuh biaya. Kalau pengawasannya lemah, perusahaan kembali fokus ke profit,” tambahnya. Meski begitu, ia melihat sudah ada beberapa perusahaan yang mulai menjalankan PPM dengan lebih serius, meski hasilnya masih jauh dari ideal.
Dari pemerintah, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Benny Hariyadi, mengingatkan arah PPM seharusnya jelas. Warga harus disiapkan agar mandiri, terutama memasuki masa pasca tambang.
“Pemberdayaan bukan menciptakan ketergantungan. Program harus mempersiapkan masyarakat agar tetap mandiri ketika tambang berhenti beroperasi,” tegasnya.
PPM, lanjut Benny, mencakup banyak sektor. Pendidikan, kesehatan, UMKM, hingga penguatan pertanian dan perikanan. Beasiswa, peningkatan kualitas sekolah, pendampingan usaha, sampai dukungan pemasaran, semuanya harus dirancang sesuai kebutuhan lokal.
“Tantangan terbesarnya mengubah cara pandang. PPM itu bukan formalitas. Harus memberi dampak panjang,” katanya.
Benny menutup dengan ajakan kolaborasi. Pemerintah, perusahaan, kampus, dan masyarakat perlu bergerak bersama agar program benar-benar terasa manfaatnya.
“Mindset perusahaan harus berubah. Program itu harus berkelanjutan dan mendorong kemandirian masyarakat,” pungkasnya.(der)