Desa Sidomulyo Diterpa Isu Miring Pungli PTSL

Kades Sidomulyo, Suharto (kiri) mendampingi Wali Kota Batu, Dewanti Rumpoko saat penyerahan simbolis sertifikat PSTL di aula Kantor Desa Sidomulyo. (Pemkot Batu/Malangvoice)

MALANGVOICE – Desas desus pungutan liar program pendaftaran tanah sistem lengkap (PTSL) menerpa Pemdes Sidomulyo, Kota Batu.

Kabar itu mencuat seiring dengan beredarnya surat berisi penarikan biaya kepada peserta dengan nilai bervariatif mulai Rp 400 ribu hingga Rp7,5 juta. Bahkan ada yang sampai Rp20 juta hingga Rp25 juta tergantung bidang tanah lebih luas.

“Oleh RT masing-masing diserahkan ke RW lalu kepada Kades Sidomulyo (Bpk. Suharto,” seperti itu isi yang dituliskan dalam surat tersebut.

Pada surat itu terdapat pula tanda tangan atas nama Nurgianto RW 07/RT03, Nanang Arofiq RW 07/RT 01 dan Subandri RW 04/RT 03.

Hingga kini masih belum diketahui siapa yang menerbitkan surat itu karena saat dikonfirmasi, ketiga nama itu mengelak dan tidak merasa menandatangani.

“Saya tidak tahu dan tidak pernah tanda tangan. Bahkan tidak pernah mengirimkan surat itu ke kantor media massa,” kata Nurgianto.

Mantan Kasun Tonggolari itu memang tergabung dalam Pokmas PTSL. Dia dilibatkan sebagai pokmas karena dibutuhkan.

Kata Nurgianto, salah satu syarat tergabung Pokmas PTSL mantan perangkat desa berusia di atas 55 tahun.

Ia pun mengaku ingin mengetahui sosok yang membuat dan menyebarkan surat itu. Pihaknya pun merasa jika tanda tangannya dipalsu.

“Saya ingin tahu siapa yang memalsukan dan menyebarkan surat itu. Di surat itu, juga tercantum Ketua BPD dan Pak Nanang selaku Ketua RT,” kata Nurgianto.

“Dengan adanya surat itu yang dirugikan juga dari kami. Intinya pemerintah menolong warga untuk mensertifikatkan. Harusnya berterima kasih ke Pemdes,” imbuh dia.

Hal serupa disampaikan Ketua BPD Desa Sidomulyo, Subandri, yang juga mengaku tak tahu menahu pembuat surat dan merasa tidak menandatangani surat itu.

Sebagai Ketua BPD, kata Subandri, tidak diperbolehkan masuk dalam struktur panitia PTSL.

“Saya tidak merasa tanda tangan. Tanda tangan tidak seperti milik saya. Begitu juga untuk penyebutan dukuh, salah. Selain itu sesuai aturan, BPD tidak boleh ikut dalam panitia,” ujar Bandri.

Kades Sidomulyo, Suharto merasa disudutkan atas surat yang menyebutkan dirinya mendapatkan keuntungan dari program PTSL.

Apalagi segala urusan administrasi dan pembiayaan ditandatangani oleh Pokmas yang dibentuk dari masing-masing RW.

“Nggak betul kalau saya dikatakan dapat sampai Rp25 juta. Sebetulnya saya dari dulu tidak mau ikut PTSL. Cuma akhirnya saya bersedia, karena ingin membantu warga yang belum memiliki sertifikat,” tegasnya.

Ia mengatakan, sesuai regulasi, biaya PTSL ditetapkan sebesar Rp150 ribu. Ketentuan itu mengacu pada SKB tiga menteri, yakni Menteri ATR/BPN, Mendagri dan Mendes PDTT tentang pembiayaan PTSL.

Namun jika biaya Rp150 ribu dirasa masih kurang, lanjut Suharto, Pokmas dapat menarik pembiayaan lebih asal dengan nilai wajar dan berdasarkan kesepakatan.

Dengan dasar itulah, akhirnya Panitia PTSL menetapkan biaya Rp500 ribu kepada masing-masing peserta.

Menurutnya, biaya Rp500 ribu itu, digunakan untuk biaya pemberkasan administrasi dan kebutuhan patok. Selain itu digunakan untuk biaya operasional Pokmas.

“Sesuai kesepakatan warga dan Pokmas untuk biaya PTSL Rp 500 ribu. Itupun kita dengan Aparat Penegak Hukum (APH) yang saat itu Pak Kajari Batu, Supriyanto, menyampaikan dalam penyuluhan kalau biaya Rp150 ribu kurang boleh menarik lebih. Tetapi harus sesuai,” ungkapnya.

Pada tahun ini, Desa Sidomulyo mendapat jatah 2000 bidang PTSL. Sertifikat PTSL di Desa Sidomulyo diberikan pada Senin kemarin (24/5).

Salah satu penerima PTSL, Sugiarti, yang dikonfirmasi, mengatakan, dirinya membayar Rp500 ribu untuk mendapatkan pemecahan sertifikat tanah warisan.

“Saya diminta Rp500 ribu. Dibayarkan dua kali Rp250 ribu. Cuma nggak dijelaskan secara rinci. Tapi nggak apa-apalah, karena kalau ngurus sendiri biayanya lebih mahal,” ucap perempuan 45 tahun itu.(end)