Besok, AJI Membedah ‘Pers Bebas dan Berkualitas’ di Widya Gama

Ketua AJI Malang, Hari Istiawan (kiri) dan anggota Dewan Pers, Jimmy Silalahi (kanan). (istimewa)
Ketua AJI Malang, Hari Istiawan (kiri) dan anggota Dewan Pers, Jimmy Silalahi (kanan). (istimewa)

MALANGVOICE-Kebebasan pers di Indonesia mulai dirasakan sejak Reformasi, setelah selama Orde Baru dikontrol dan diintervensi pemerintah melalui Departemen Penerangan. Pers bebas diraih setelah Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Pers No 40 Tahun 1999. Sejak itu pemerintah tak mengintervensi dan mengontrol media massa. Tak ada lagi bredel dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) untuk media cetak.

Lalu, bagaimana peran dan wajah pers pasca reformasi? Bagaimana kondisi perusahaan pers? Nah, semua itu akan dibedah dalam diskusi publik ‘Mewujudkan Pers Bebas dan Berkualitas’, di Universitas Widya Gama, besok, menghadirkan anggota Dewan Pers Jimmy Silalahi, Ketua Jurusan Komunikasi Universitas Brawijaya Malang Bambang D Prasetyo, dan Ketua AJI Malang Hari Istiawan.

Dalam rilis yang disampaikan ke redaksi MVoice, setelah reformasi, sedikitnya terbit 1.389 media cetak baru, atau terbit lima media per hari. Pendataan Dewan Pers 2001 bekerjasama dengan Lembaga Informasi Nasional (LIN) menyebutkan, ada 566 penerbitan pers. Media yang terdata memenuhi kriteria administratif, seperti berbadan hukum, terbit atau siaran teratur, diterbitkan untuk umum, memuat alamat redaksi dan penanggungjawab.

Berdasar pendataan Dewan Pers 2015, ada 321 perusahaan pers cetak, terdiri atas 177 harian, 112 mingguan dan 32 bulanan. Ada 68 media siber yang juga berhasil terdata. Jumlah perusahaan pers turun dibandingkan 2014, yaitu 509 media cetak dengan rincian 289 harian, 139 mingguan dan 81 bulanan.

Sedangkan data media siaran dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) serta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), ada 674 radio dan 523 televisi. Sedangkan di Malang, Dewan Pers mencatat sembilan perusahaan pers, tiga di antaranya terverifikasi administrasi, selebihnya belum memenuhi standar perusahaan pers.

Dewan Pers mengklasifikasikan perusahaan pers menjadi tiga kelompok, yaitu pers profesional, partisipan, dan abal-abal. Perkembangan jenis pers berbeda-beda setiap era atau rezim. Setelah reformasi, media partisan kecil, namun pasca Pemilu 2014 justru bertambah. Sedangkan media abal-abal bertransformasi menjadi media online.

Yang dimaksud media abal-abal adalah, terbit tidak rutin dan tak memiliki penanggung jawab yang jelas. Media ini kerap digunakan untuk kejahatan, seperti pemerasan dan tindakan pidana lainnya. Media abal-abal ini merupakan penumpang gelap kebebasan pers yang diperjuangkan para jurnalis.

“Kerisauan publik atas independensi media massa harus dijawab. Jangan biarkan publik semakin tak percaya dengan media,” tegas Ketua AJI Malang, Hari Istiawan, kemarin. Dalam jurnal Dewan Pers berjudul ‘Pers Daerah: Mati Enggan, Hidup Segan’, disebutkan, banyak pers daerah asal terbit. Segelintir pers daerah yang sehat secara bisnis.

Kondisi itu menyebabkan iklim bisnis dan iklim demokrasi menjadi tak sehat. Ironinya, banyak perusahaan pers di daerah bersekutu dengan pimpinan daerah atau kandidat kepala daerah. Keberpihakan media, katanya, terlihat selama Pemilu 2014, Pemilihan Presiden 2014 dan Pilkada serentak 2015.

Bahkan banyak pula jurnalis yang terjebak kepentingan pragmatis, menjadi tim sukses kandidat kepala daerah. Diskusi publik besok akan mengurai persoalan perusahaan pers di daerah, serta bagaimana mewujudkan perusahaan pers di daerah yang bebas namun berkualitas. Mampu menjaga independensi dan berfungsi sebagai kontrol sosial.

Diskusi ini merupakan rangkaian Bazar Media 2016 yang digelar memperingati 11 Tahun AJI Malang dan merayakan hari kebebasan pers Internasional. Bazar Media merupakan program AJI Malang dalam kampanye literasi media kepada masyarakat. Memamerkan karya jurnalistik siswa SMA sederajat dan mahasiswa di Malang berbentuk media cetak, media siber, audio dan audio visual. Serta menghadirkan komunitas masyarakat yang mengembangkan jurnalis warga atau citizen journalist.

Selain itu juga digelar aneka pelatihan jurnalistik, meliputi jurnalisme televisi, film dokumenter, jurnalisme warga dan fotografi dengan kamera telepon seluler atau gawai. Juga digelar diskusi bersama Dewan Pers dengan tema mewujudkan pers bebas dan berkualitas. Ada juga beragam lomba, seperti foto on the spot menggunakan gawai, dan lomba presenter cilik dan remaja.