Bahaya jika Pemilu Ditunda karena Bakal Muncul Ini Kata Pengamat Politik dari UB Malang

Pengamat Politik dari Universitas Brawijaya (UB) Malang, Wawan Sobari. (Lisdya)
Pengamat Politik dari Universitas Brawijaya (UB) Malang, Wawan Sobari. (Lisdya)

MALANGVOICE – Penolakan berbagai elemen masyarakat menyusul munculnya rencana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) terjadi di mana-mana.

Pemilu yang mestinya digelar pada tahun 2024 mendatang, diwacanakan diundur meski tidak sesuai konstitusi.

Pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Brawijaya Malang, Wawan Sobari Ph.D mengkhawatirkan penundaan Pemilu dapat membawa negara Indonesia pada kondisi otoriterianisme.

“Bahaya jika penundaan pemilu terjadi. Kita akan kembali ke otoriterianisme. Itu yang tidak boleh,” tegas Wawan kepada Mvoice, Sabtu (9/4).

Menurut Wawan, ciri otoriterianisme itu ketika pemerintah atau penguasa mengambil keputusan itu tidak mengajak ngomong rakyat atau tidak disetujui oleh sebagian besar rakyat.

Berdasarkan survey dari Saiful Mujani Research and Consulting ada sebanyak 78,9 persen dari jumlah penduduk Indonesia menolak rencana penundaan Pemilu, meski dengan alasan apapun.

“Jadi apapun alasannya, walau karena IKN, pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi, masyarakat banyak yang tidak setuju penundaan pemilu. Lebih dari 70 persen menolak,” ujarnya.

Menurut Wawan, kalau ada gelombang penolakan dari kalangan mahasiswa terkait rencana tersebut merupakan respon yang wajar,

“Penolakan dari mahasiswa itu adalah bagian dari 70 persen masyarakat yang menolak rencana penundaan pemilu,” sambungnya.

Terlebih menurutnya, jika rencana itu jadi dilakukan, yang dikhawatirkan adalah kembalinya kondisi Indonesia seperti era sebelum reformasi.

Sementara itu, kata Wawan, di sisi lain, sudah lebih dari 20 tahun, Indonesia telah banyak melakukan reformasi di setiap lini untuk berdemokrasi.

“Katakanlah hal itu terjadi, kita kembali ke situasi sebelum reformasi. Apakah kita mau seperti itu, apakah kita tidak rugi dengan perjalanan reformasi?” ujarnya beretorika.

Jika benar-benar Pemilu ditunda, menunjukkan perjalanan demokrasi 20 tahun lebih itu hanya ambisi perpanjangan masa jabatan.

Apalagi jika gelombang penolakan terus mengalir tidak hanya dari mahasiswa, yang dikhawatirkan adalah munculnya konflik horizontal, antara masyarakat yang menolak rencana tersebut dan masyarakat yang mendukung rencana penundaan pemilu.

“Saya terus terang khawatir, jika isu itu terus dipaksakan, gelombang penolakan dari mahasiswa dan ormas, akan terjadi. Nah risiko buruk,” ucapnya miris.

Ingat, lanjutnya, masih ada masyarakat yang setuju. Risikonya akan ada konflik horisontal antara yang mendukung dan yang tidak mendukung.

“Bukannya penundaan Pemilu untuk konteks pertumbuhan ekonomi, menjaga momentum ekonomi, malah berisiko menjadi instabilitas karena situasi yang menimbulkan konflik,” pungkasnya.(end)