Bahasa Pemersatu Sesama Genaro Ngalam

Suasana diskusi dan nonton film bahasa walikan Nendes Kombet di Malang Post. (fathul/malangvoice)

MALANGVOICE – Bahasa walikan Malang memang unik. Siapa pun ingin mengerti bahasa walikan, dan seringnya salah kaprah. Orang yang tidak faham, menganggap bahasa walikan tinggal membalik huruf dari kata-kata, padahal tidak demikian.

Hal ini tercermin dalam film berjudul “Nendes Kombet” karya sutradara Saidah Fitriah yang diputar di Malang Post, Jumat (4/9) malam. Hadir dalam nonton film dan diskusi ini, seniman, sejarahwan, wartawan, dan pelajar.

“Penulisan film ini berawal dari pengalaman pribadi saya di Jakarta. Ketika itu saya memakai kaos bergambar Singa Arema, lalu saya bertanya ke orang di pinggir jalan jalan ke stasiun. Ternyata dia pakai bahasa walikan dan akhirnya dia mengantar saya ke stasiun,” cerita Saidah.

Saat tiba di tujuan, lanjutnya, satpam stasiun memberi tahu dia bahwa yang mengantarnya adalah seorang preman yang biasa mangkal di sana. “Bahasa walikan menjadikan pemersatu, menumbuhkan primordialisme yang kental sesama orang Ngalam,” simpul Saidah.

Dalam film itu sendiri, menceritakan bahasa Malangan dari berbagai kalangan. Baik dosen, pemain bola, masyarakat umum, seniman dan lain-lain. Beberapa tokoh menekankan bahwa bahasa walikan sebenarnya tidak ada grammarnya, namun lebih dari pada kesepakatan bersama.

Dosen Sejarah Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono menjelaskan, bahasa walikan Malang bukan hanya soal linguistik atau kebahasaan, tapi lebih dari itu melingkupi aspek sosial dan budaya masyarakat Malang.

“Bahasa walikan harus dihadirkan kembali dalam berbagai aspek. Jika saat ini aspek filmnya yang digarap, maka bisa juga bahasa walikan dihadirkan dalam ragam musik, olahraga, hingga pergaulan,” ujar Dwi saat menyampaikan kesannya sebagai sejarahwan.

Melihat kondisi bahasa walikan yang sudah menjamur ini, Dwi merasa perlu adanya kamus yang memuat bahasa Malangan lebih lengkap dari pada sekedar dokumentasi. “Ini mendesak, sejauh ini sudah ada upaya dokumentasi namun perlu dibukukan menjadi kamus,” tambahnya.

Ia mengusulkan kamus yang dibuat tersebut bersifat dinamis sebagaimana sifat bahasa. Setiap lima atau sepuluh tahun, kamus tersebut dapat diperbarui sehingga selalu update untuk memberikan referensi kepada setiap kalangan masyarakat.-