Aji: Komikus Harus Merespon Masalah Sosial

Aji Prasetyo

MALANGVOICE – Perkembangan dunia komik tanah air, saat ini bisa dikatakan mengalami pertumbuhan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan lahirnya komikus muda yang mulai menghasilkan beberapa karya.

Komikus ternama asal Malang, Aji Prasetyo mengatakan, geliat pertumbuhan komikus di Indonesia sangat positif. Meski masih berkiblat pada komik Jepang dan Marvel, hal itu dianggapnya adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari.

“Kalau anak sekarang berkiblat pada komik Jepang dan Marvel itu adalah kenisycayaan yang gak bisa dihindari karena setiap proses belajar pastilah meniru,” kata Aji.

Ia mengapresiasi beberapa komikus ternama Indonesia, dimana meski awalnya mereka meniru gaya tertentu, namun lambat laun menemukan gaya sendiri berkat eksplorasi yang tak pernah berhenti.

“Saya melihat geliat komik di Indonesia sudah sangat bagus, karya komikus baru ini sudah ada di rak-rak toko buku, namun jika karya terus-terusan mengekor, maka akan tertinggal dengan komik impor,” tandasnya

Dijelaskannya, untuk merebut hati publik, para komikus harus menciptakan karya yang mampu menjawab permasalahan sosial yang ada di masyarakay, sehingga karya-karya itu terasa faktual dan tidak sekadar cerita yang menghibur.

Memang diakui Aji, memilih konten berita dengan maksud semata menghibur atau memilih cerita dengan penanaman nilai merupakan opsi komikus.

“Namun dalam menciptakan sebuah karya harus disukai masyarakat dengan mengambil tema yang dianggap faktual. Seperti film India itu mengapa jadi primadona rakyat India, karena mereka menjawab masalah sosial yang ada,” beber dia.

Dicontohkanyya, karya komik zaman dahulu, seperti ‘Joko Sembung’, ‘Si Buta dari Gua Hantu’ dan ‘Lebak Membara’ berhasil merebut hati masyarakat karena cerita itu diangkat secara faktual yang hidup dalam masyarakat. “Itu adalah komik yang sampai diangkat ke layar lebar, ini menunjukkan karya terdahulu sangat faktual,” tandasnya.

Selain itu, Aji juga mengkritik industri yang selama ini tidak memiliki selera, dimana mereka selalu mengukur selera hanya berlandaskan angka dan data statistik, sehingga untuk mengatasi hal itu, komikus perlu menciptakan angka sendiri dalam grafis sebagai rujukan industri.

“Tantangan sekarang ada di tangan komikus kita bagaimana mereka ingin membesarkan dunia komik,” pungkasnya.