MALANGVOICE– Para petani apel di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu lebih memilih ‘angkat tangan’. Pohon-pohon apel yang sudah tua banyak yang ditebang. Lantaran mereka kewalahan dengan mahalnya biaya perawatan. Sementara produktivitasnya mulai menurun dan harganya tak menentu.
Mereka pun banting setir dari tanaman apel berubah menjadi ladang sayuran. Seperti yang dilakukan Dwi, seorang petani apel. Pohon apel miliknya berusia 40-50 tahun rentan rapuh dan terserang penyakit. Akibatnya buahnya berukuran kecil. Kalau dibiarkan, petani justru merugi.
BISTF 2025 Ruang Memperkenalkan Kekayaan Lokal di Panggung Global
“Sudah berat mempertahankan apel. Obat mahal, pupuk mahal, panennya sedikit, harganya juga kadang nggak nutup. Jadi ya kami tebang saja, tanami sayur,” ujar Dwi.
Dwi tak sendiri. Di Desa Tulungrejo dan beberapa kawasan lain di Kota Batu, pemandangan petani menebang pohon apel makin sering terlihat. Lahan apel satu demi satu berubah fungsi. Data dari Dinas Pertanian Kota Batu memang tak membohongi. Tahun 2022, lahan apel tercatat 1.200 hektare. Tahun ini tinggal 1.092 hektare. Turun 100-an hektare hanya dalam tiga tahun. Mayoritas petani memilih beralih ke sayur dan hortikultura, yang dianggap lebih cepat panen dan lebih pasti hasilnya.
“Kalau terus begini, lama-lama apel tinggal cerita di Kota Batu,” imbuh Dwi.
Tak cuma faktor usia pohon. Cuaca yang makin sulit diprediksi juga ikut memperparah. Musim tak jelas, hujan dan panas datang sesukanya. Tanaman apel makin sulit tumbuh maksimal.
Melihat kondisi ini, Wakil Ketua I DPRD Kota Batu, Ludi Tanarto buka suara. Ia prihatin melihat ikon Kota Batu yang mulai terpinggirkan. “Dulu apel jadi kebanggaan Kota Batu. Sekarang petani banyak yang menyerah,” kata Ludi.
Menurutnya, persoalan utamanya ada di permintaan pasar. Apel Batu makin kurang diminati. “Karena itu, kami mendukung penuh langkah wali kota untuk mempertahankan apel sebagai identitas Kota Batu. Ini bukan cuma soal bisnis, tapi soal sejarah,” tegas Ludi.
Ia mengusulkan apel diintegrasikan dengan sektor pariwisata. Hotel-hotel di Kota Batu, misalnya, bisa menyajikan apel sebagai buah penyambut tamu alias ‘welcome fruit’. Di destinasi wisata, apel bisa diberikan sebagai suvenir khas Kota Apel.
“Jadi tidak hanya jual apel di pasar. Tapi apel jadi bagian dari pengalaman wisata di Batu. Ini memperkuat branding kita sebagai Kota Apel,” tambahnya.
Ludi juga mendorong pemerintah memberi penghargaan untuk petani apel berprestasi, hingga membuka kerja sama dengan daerah lain seperti Bali. Apel Batu, kata dia, bisa dijadikan bahan dalam upacara adat di sana, membuka peluang pasar baru.
“Yang jelas, apel jangan sampai punah di Kota Apel,” tutupnya.(der)