Jika Sudah Menjadi Muslim, Jangan Sia-sia… (end)

Rita Arin. (Istimewa)

Oleh: Rita Arin

Berangkat Umroh Berkah Kerja di Wardah
Aku dan suami kemudian bangkit. Kami memulai dari awal lagi. Perlahan kehidupan kami mulai membaik. Aku membeli barang sedikit demi sedikit. Alhamdulillah, akhirnya kami bisa beli kendaraan lagi. Ketika keadaan sedikit membaik, tiba-tiba aku ditawari menjadi Beauty Promotor (BP).

“Beauty Promotor itu apa, pak? Kerjaannya apa?” tanyaku.

“Tugasmu, mempromosikan produk Wardah untuk wilayah yang lebih luas. Bisa ke instansi dan kantor-kantor yang ada,” kata Pak Novi, pimpinanku.

Aku terhenyak. Selama ini aku selalu bergantung pada suami untuk pergi dan pulang kerja. Jika aku ditempatkan di BP dan pekerjaannya seperti disampaikan Pak Novi, tentu aku tak mungkin bergantung terus kepada suamiku.

Baca Juga:Jika Sudah Menjadi Muslim, Jangan Sia-sia… (I)

Tawaran itu aku rembukkan dengan suami. Keputusannya, aku ke kantor pusat dan bertemu supervisorku, Mbak Eva. Aku kemudian harus melalui tahap interview dengan Buk Marry. Aku mendengar kabar dari kawan-kawan lain, jika tak bisa menjawab pertanyaan Bu Marry, bisa dipastikan yang bersangkutan akan gagal.

Lama aku diinterview Bu Marry, namun kepadaku tak pernah diajukan pertanyaan seputar produk. Beliau lebih banyak bertanya sekitar keseharianku. Interview selesai. Aku dinyatakan lulus. Aku heran, ternyata bertemu dan interview dengan Bu Marry tidak seperti ketakutan yang berkembang selama ini.

Aku lulus sebagai BP. Setiap hari aku harus bolak-balik Depok dan Swadarma Raya. Aku tak mungkin mengandalkan suami saja. Akhirnya aku memutuskan membeli sepeda motor lagi.

Menjadi BP ternyata benar-benar menyenangkan. Banyak pengalaman yang kudapati. Aku bertemu banyak orang. Berbagai kalangan. Bertemu banyak orang-orang penting. Aku benar-benar menikmati bekerja di Wardah.

Ketika aku melahirkan anak kedua,  aku mendapatkan tunjangan melahirkan. Rezekiku terus bertambah. Aku dan suami tak henti-hentinya berdoa. Allah telah mengabulkan doa-doa kami, malahan melebihI dari apa yang kami minta.

Saat aku dalam perjalanan untuk bazar di Kementerian Kelautan dan Perikanan, aku mendapatkan kabar yang mengejutkan. Tahun ini, 2019, aku mendapat jatah umroh gratis dari perusahaan, PT Paragon Technology and Innovation.

“Apakah aku mimpi?” Tanyaku dalam isak tangis yang tak bisa kutahan.

Aku sempat tak percaya. Tapi orang yang memberikan kabar via telepon kantor pusat menyampaikan, bahwa diriku tidak sedang bermimpi. Aku kemudian diyakinkan.

Katanya, dalam waktu dekat semua berkas dan panduan keberangkatanku akan dikirimkan. Aku tak menduga, bisa secepat ini ke Tanah Suci. Beribadah di Masjid Nawabi dan Masjidil Haram. Bersujud di depan Ka’bah, tempat yang selalu dirindukan umat Islam.

Aku memang pernah mendengar, setiap karyawan yang bekerja minimal tujuh tahun, diberangkatkan umroh bagi yang muslim. Bagi non muslim, diberangkatkan wisata religi, sesuai agama masing-masing.

Program ini sudah berjalan di perusahaan sejak 2017. Rata-rata setiap tahun memberangkatkan sedikitnya 500 orang karyawan. Aku tak pernah menghitung dan membayangkannya sama sekali.

Aku sampaikan kabar bahagia ini kepada suamiku. Ia ikut meneteskan air mata. Katanya, Allah sangat sayang padaku, sehingga aku diberi rezeki berlimpah.

“Tapi aku belum mengerti Islam secara menyeluruh. Membaca Al-Qur’an pun aku masih terbata-bata. Apa aku pantas ke Tanah Suci?” Tanyaku.

Suamimu mendorong dan memberikan semangat. Ia benar-benar mengerti apa yang kurasakan. Ia terus membimbingku. Aku pun memantapkan hati dan niat.

Perlahan aku mulai mempersiapkan segala kebutuhan satu persatu. Aku berdoa sepanjang waktu, semoga Allah memberikan kemudahan dan kelancaran semua persiapan hingga ibadahku.

Sebelum berangkat, aku  menggelar pengajian di rumah.  Aku mengundang ustad agar aku diberi pemahaman selama ibadah di Tanah Suci. 

Aku dengar dari banyak orang, apa yang biasa kita lakukan selama ini akan diperlihatkan di Tanah Suci.  Jika kita  berbuat salah maka akan diperlihatkan di sana.  Sempat timbul rasa takut, tapi aku mantapkan hatiku bahwa  aku berniat untuk ibadah. Aku memohon ampun kepada Allah.

Saat aku berangkat menuju Jakarta, tempat semua jamaah umroh Paragon Technology and Innovation, berkumpul, ada rasa berbeda mengalir dalam tubuhku.

Sehari sebelum berangkat, aku melaksanakan manasik. Saat itu  mulai berkenalan dengan teman-teman satu kloterku dari berbagai daerah. Alhamdulilah aku dapat teman baru.

Rabu, 15 Januari 2020, aku berangkat dengan diantar kedua anakku,  suamiku, bapak dan ibu mertuaku. Mereka melepas kepergianku. Aku tak kuasa membendung air mata yang menetes.

Kupeluk erat anakku; Jingga Zilvia Ardhan (9 thn) dan Axel Juro Reynand Ardhan (4 thn). Kupeluk erat keduanya. Aku pasrah dan ikhlas meninggalkan kedua anakku. Aku benar-benar ingin fokus ibadah.

Ada rasa itu semakin menggelegar ketika rombongan kami sudah bergerak menuju Madinah. Aku tak kuasa menahan tangis. Aku menangis  haru karena  bisa sampai  ke titik ini. Aku  memantapkan hati dan pasrah terhadap semua yang akan terjadi. Aku pasrah akan semuanya agar ibadahku  lancar.

Di saat pesawat mendarat di Bandara Internasional Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMMA) Madinah, aku semakin tak kuasa menahan tetesan air mata. Aku benar-benar telah menginjakkan kaki di Tanah Suci.

Tiga hari rombongan kami menetap di Madinah. Aku sekamar dengan Mbak Esa, Mbak Sari dan Dita dari DC Bogor. Tiga hari kami ke masjid dan balik ke hotel bersama. kami salat, mengaji dan menunaikan ibadah-ibadah sunat.

Kami memaksimalkan waktu yang ada untuk ibadah sebaik-baiknya. Aku juga bersyukur, flu yang sempat menyerang diriku sebelum berangkat, ternyata sesampai di Madinah sembuh.

Tiga hari di Madinah, perjalanan diteruskan ke Makkah. Ibadah umroh dimulai. Madinah – Makkah ditempuh selama enam jam. Ketika meninggalkan Madinah, kami semua sudah berpakaian untuk umroh. Jemaah lelaki telah berpakaian ihram.

Setiba di Makkah, sekitar pukul sembilan malam. Kami menjamak salat Magrib di waktu Isya. Setelah itu, langsung melaksanakan rangkaian ibadah umroh.

Diawali dengan Tawaf, mengelilingi Ka’bah.
Saat pertama melihat Ka’bah, tiba-tiba saja air mataku berderai. Aku menangis. Aku tak pernah membayangkan bisa melihat Ka’bah secara langsung.

Apakah aku sedang mimpi? Tiba-tiba saja aku seakan berbisik kepada  Allah; Ya, Allah, jika aku sedang mimpi, jangan bangunkan aku, Ya Allah.

Kuusap mata berkali-kali. Kucubit lengan. Sakit. Aku tidak sedang bermimpi. Ini benar-benar nyata. Aku memohon ampun atas dosa-dosaku, bermohon agar diampunkan dosa-dosa keluargaku dan memohon agar aku bisa kembali ke sini bersama suami dan anak-anakku.

Aku menjalani dan menikmati ibadah di Masjidil Haram. Aku benar-benar menikmatinya. Selama di Masjidil Haram aku mencari tempat terbaik,  aku beribadah  di depan Ka’bah. Aku juga memohon kepada Allah agar dosa-dosa orang tuaku diampuni, sekali pun keduanya beda agama denganku. Bagaimana pun juga, beliau adalah orangtuaku.

Masih segar dalam ingatanku pesan ibu saat kuberitahu bahwa aku sudah mualaf, “Jika memang sudah menjadi muslim, jangan sampai sia-sia… Jadilah muslim yang senantiasa menjalankan syariat Islam,” kata ibu kepadaku.

Pesan ibu bukan tanpa alasan. Ketika aku Nasrani yang hanya sekali seminggu ke gereja, aku sering lalai. Pesan ibu menjadi wasiat bagiku. Aku akan jalankan semua pesan tersebut. Aku harus melaksanakan salat lima waktu tepat waktu dan menjalankan syariat yang diperintahkan Allah.

Ketika ustad pembimbing kami, Ustad Muhammad Azzam dan Ustad Hakim mengabarkan, Rabu, 22 Januari 2020, pukul dua dinihari semua sudah di lobi hotel untuk Tawaf Wada’, aku tersentak.

Berarti sudah empat hari kami di Makkah. Empat hari pula aku beribadah di Masjidil Haram. Sebentar saja rasanya.

Air mata perpisahan ini tak kuasa menetes saat itu melaksanakan Tawaf Wada. Aku berharap akan bisa kembali lagi bersama keluarga. Aku yakin, Allah pasti sayang padaku dan akan mengabulkan doaku. 

Saat berpisah dengan teman-teman satu kloter di Bandara Soekarno-Hatta, kami semua berharap bisa bersama lagi. Impian kami, suatu saat kami bisa bersama kembali. Suatu saat, kami dan keluarga kami diberi kesempatan beribadah di Tanah Suci.

Entah kenapa, hingga beberapa hari setelah sampai di rumah, aku  masih bermimpi Tawaf di depan Ka’bah.

Terima kasih, Bu Nurhayati Subakat dan Pak Subakat. Semoga ibu dan bapak senantiasa diberi kesehatan dan keberkahan. Semoga Paragon Technology and Innovation semakin berkembang.

Sebelumnya…

Mualaf Karyawati PT Paragon Technology and Innovation