Menikmati Multikulturalisme di Festival Kampung Celaket

Hanan Djalil bersama sejumlah warga Kampung Celaket tengah berdiskusi
Hanan Djalil bersama sejumlah warga Kampung Celaket tengah berdiskusi

MALANGVOICE – Tak terasa, International Celaket Cross Cultural Festival (ICCCF) telah memasuki perhelatan di tahun kelima. Ide dari ICCCF di awal penyelenggaraannya adalah sebuah festival kesenian yang mempertemukan keragaman corak budaya lokal dari berbagai daerah di Indonesia serta tampilan seni dari mancanegara.

Penggagas sekaligus tokoh di balik terselenggarakannya ICCCF, Hanan Djalil, kepada malangvoice.com, menuturkan, pada penyelenggarannya pertamanya, ICCCF dihadiri seniman dari 12 negara, dan semakin berkembang pada penyelenggaraan di tahun-tahun berikutnya. Tahun ini festival kembali memeriahkan kawasan Kampung Celaket, Kelurahan Samaan, Kota Malang, pada 25–29 Oktober.

Warga Kampung Celaket pun tahun ini kembali ramai didatangi ‘tamu-tamu penting’, baik yang akan menjadi penampil di 3 panggung utama yang tersedia, maupun mereka dari penjuru Malang Raya yang akan menikmati pertunjukan kesenian dan festival budaya nusantara yang akan digelar selama 4 hari penuh, dari siang sampai malam hari.

Penyelenggaraan tahun ini terasa agak istimewa, karena warga Celaket akan kedatangan sejumlah maestro kesenian yang telah mumpuni di bidang masing-masing, diantaranya maestro tari seperti Didik Nini Thowok, Sobari dari Banyuwangi, Made Bandem dari Bali, Kang Tatang dari Jawa Barat dan juga budayawan Sudjiwo Tedjo.

Sejumlah publik figur dan pejabat juga direncanakan hadir pada perhelatan ICCF tahun ini. Tidak sekadar hadir, tetapi juga akan berkolaborasi dalam pertunjukan kesenian yang akan digelar.

Wakil Gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf, yang lebih dikenal dengan sapaan Gus Ipul, jika tidak ada aral melintang akan ikut berperan dalam pertunjukan Ludruk Ger-Ger-an bersama Sudjiwo Tedjo, Bupati Malang Rendra Kresna, artis dan juga anggota DPR RI Rieke Dyah Pitaloka, serta beberapa pejabat dan publik figur lainnya.

Mereka akan berkolaborasi dengan seniman ludruk Malang lintas generasi dalam lakon Sakerah.

Pertunjukan kali ini akan terasa istimewa, karena selain beberapa nama kondang yang akan tampil, juga ada semacam pemberian penghargaan dan apresiasi dari warga Celaket untuk seniman-seniman yang telah berdedikasi dan berkarya nyata di bidang kesenian. Bagaimana tidak istimewa, karena pemberian penghargaan itu datang atas inisiatif warga kampung di Kota Malang.

Celaket memang istimewa! Sebagai sebuah kampung, Celaket telah menunjukkan jati dirinya untuk aktif dan peduli bagi perkembangan dan pelestarian seni budaya di Malang Raya pada khususnya, dan di Indonesia Raya pada umumnya.

Kepedulian warga Celaket itu tidak datang dengan tiba-tiba, bisa jadi naluri warga Celaket itu terbentuk dari kuatnya akar sejarah yang dimiliknya. Karena setelah ditelusuri, sebagai sebuah wilayah, Celaket mempunyai catatan sejarah yang panjang.

Seperti ditulis arkeolog dan sejarawan Dwi Cahyono dalam artikel Kekayaan Sejarah Celaket, Kampung Celaket ternyata salah satu ‘kampung tua’ di Kota Malang. Sebagai kampung tua, Celaket telah menempuh perjalanan sejarah panjang, sejak zaman Prasejarah hingga sekarang.

Bahkan, dalam beberapa momentum historis di Malang ataupun di Jawa, kesejarahan Celaket dapat dibilang sebagai ‘pemula sejarah’. Data arkeologis menunjukkan, daerah Celaket, yang terletak di seberang utara aliran Brantas, telah digunakan sebagai areal permukiman Zaman Prasejarah, setidaknya semenjak Masa Bercocok Tanam.

Pada situs Punden Mbah Tugu di Celaket Gang I-E, yang berjarak ± 500 m pada utara aliran Brantas, dijumpai menhir, lumpang batu (stone mortar) dari monolith tanpa ditarah dan bejana batu. Disamping itu di halaman sekolah SMU Cor Jessu pernah ditemukan sebuah periuk berisi lembaran-lembaran tipis emas (swarnapatra) bertulis nama-nama dewata Hindu.

Sayang sekali, pada 1928 artefak dari masa Hindu-Buddha ini direlokasikan ke Museum Batavia (kini ’Museum Nasional’ di Jakarta). Tinggalan lainnya berupa sebuah umpak besar, lumpang batu tanpa ditarah, dan sejumlah arung (saluran air bawah tanah) di sepanjang DAS Brantas.

Tinggalan arkeologis itu menjadi pembukti bahwasa pada jaman Prasejarah daerah Celaket telah dihuni warga masyarakat yang berbasis ekonomi agraris dan berlatar religi pemuja arwah nenek moyang (ancestors worship). Lumpang batu itu menjadi petunjuk pencaharian agraris, dan menhir digunakan sebagai media pemujaan kepada arwah nenek moyang.

Latar keagamaannya berubah menjadi Hindu sekte Saiwa pada Masa Hindu-Buddha, sebagaimana terbukti dari inskripsi pendek(sort inscription) pada swarnapatra yang memuat nama-nama dewata Hindu tersebut.

Sebagai suatu areal permukiman, desa kuno Tjelaket tentu dilengkapi dengan pasar (pekan) desa, yang jejaknya masih tertinggal – meski kini hanya berupa ‘pasar krempyeng’. Peran pasar desa ini surut, utamanya setelah dibangunnya Pasar Samaan yang jauh lebih besar.

Pada permualaan abad X Masehi, Celaket berada di lingkungan dalam(watek i jro) atau setidaknya terletak pada pinggiran pusat pemerintahan(kadatwan) Mataram ketika Pu Sindok merelokasi pusat pemerintahan (kadatwan)-nya dari Pohpitu di sekitar Blora ke Tamwlang di bantaran utara aliran Brantas.

Toponimi arkhais ‘Tamwlang’, yang menurut linggo-prasasti Turyyan bertarikh 929 Masehi menjadi kadatwan Pu Sindok (Sri Isana) itu, kini mengalami sedikit perubahan penyebutan menjadi ‘Tembalangan (Tamwlang-Tamblang-Tambalang+an-Tembalangan)’, yakni nama kampung di Kelurahan Samaan. Apabila benar demikian, berarti Celaket-Samaan ikut menjadi saksi atas mula sejarah Isanavamsa dalam pemerintahan kerajaan Mataram yang berpusat di wilayah Jawa Timur.

Peran strategis Celaket kembali terjadi pada mula Sejarah Kolonial di daerah Malang. Loji perdana Kompeni Belanda didirikan di utara Bantas pada tahun 1767, dan untuk kurun waktu lebih dari setengah abad (1767-1821) dijadikan sebagai ‘rumah benteng (castile)’ bagi para serdadu Belanda.

Ketika Kompeni Belanda mulai mengembangkan pola permukimam ‘luar loji (luar benteng)’, rumah tinggal orang-orang Belanda pada periode permulaan didirikan di sekitar Loji Utara, yakni berada di sekitar Kampung Celaket serta di Klojen (Ka-loji-an) Lor.

Setelah pusat garnizoen direlokasikan dari Loji Utara ke Rampal, eks loji ini dijadikan rumah sakit militer (militair ziekenhuis), sehingga bisa dibilang sebagai ‘embrio’ bagi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Kota Malang (kini dinamai ‘RSUD Saiful Anwar’).

Cikal bakal permukiman Indis itu diperluas dalam Bouwplan I (Mei 1917 sd Februari 1918), dengan mengembangkan kawasan perumahan Indis yang dinamai ‘Oranjebuurt’, yang areal-nya Kampung Tjelaket Wetan.

Celaket kini telah bermetamorfosis dari sebuah desa kuno yang konon merupakan desa agraris menjadi sebuah kampung padat yang berada di tengah Kota Malang. Di Kampung Celaket telah menjadi ajang kegiatan lintas budaya, baik budaya Prasejarah, Hindu, Kristiani maupun Islam. Celaket dengan demikian merupakan potret ‘kampung multikultural’ di Kota Malang.

Oleh sebab itu, cukup alasan untuk menyatakan Celaket sebagai ‘kampung budaya lintas masa’. Dalam jatidirinya sebagai ‘kampung tua, kampung bersejarah, dan sekaligus kampung budaya’, Celaket adalah kawasan heritage yang perlu mendapatkan prioritas dalam konservasi budaya dan ekologi yang berciri gotong royong, persaudaraan, toleran atas keragaman budaya dan keyakinan warganya.