FAI UMM Kupas Islam Asia Tenggara: Hadirkan Dubes Arab Saudi dan 29 Peneliti Lintas Negara

MALANGVOICE – Sebanyak 29 peneliti mempresentasikan paper pada International Seminar on Islamic and Arabic Education in Southeast Asia (Seminar Internasional Pendidikan Islam dan Bahasa Arab di Asia Tenggara) yang diadakan Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhamamdiyah Malang (UMM) selama dua hari (3-4/2) di Auditorium UMM. Keseluruhan makalah mengulas tema-tema seputar dinamika pemikiran dan pengembangan studi Islam dan bahasa Arab di Asia Tenggara.

Selain 29 peneliti itu, hadir pula Duta Besar (Dubes) Arab Saudi untuk Indonesia Osamah Mohammed Alshuibi dan Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Kementerian Agama RI Prof Dr Amsal Bakhtiar MA pada sesi pleno pertama. Sementara pada pleno kedua, menghadirkan Dr Abdul Hafis Hiley (Lukmanulhakeem Foundation, Yala Thailand), Dr Asraf Israqi Jamil (University of Malaya), dan Prof Dr Tobroni MSi (Magister Agama Islam UMM).

Kegiatan ini juga diwarnai penandatanganan dua memorandum of understanding (MoU), yaitu antara UMM dan Universitas Malaya, serta antara Prodi Bahasa FAI UMM dan Prodi Bahasa Arab Universitas Jambi. Diharapkan, dua MoU tersebut dapat mengembangkan studi Islam dan bahasa Arab pada masing-masing universitas.

Pada kegiatan ini, Osamah memaparkan materi “Mind Mapping Pendidikan Islam di Asia Tenggara selama Era kontemporer”. Disampaikan Osamah, Arab Saudi berperan besar terhadap penyebaran pengajaran Bahasa Arab di lingkup Asia Tenggara, khususnya Indonesia. “Upaya yang dilakukan salah satunya dengan mendirikan Lembaga Ilmu Pengatahuan Islam dan Arab (LIPIA),” papar Osamah.

Meski awalnya LIPIA hanya menyelenggarakan program pendidikan Bahasa Arab, sejalan perkembangannya, LIPIA akhirnya menjadi lembaga yang berkembang pesat. “Karena pada dasarnya ilmu bahasa tidak bisa lepas dari budaya yang membentuknya, dan pembentukan budaya itulah yang dilakukan LIPIA,” kata Osamah.

Sementara itu, Amsal Bakhtiar menyampaikan materi “Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Peluang, Harapan, dan Tantangan dalam Perkembangan Globalisasi”. Ada dua problem utama penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia. Pertama, masih kurangnya angka partisipasi kasar (APK) lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).

Dalam catatan Amsal, kurang dari 32 persen APK SLTA yang mampu melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.

“10 persen dari yang 32 itu ada di perguruan tinggi agama Islam. Artinya, baru sekitar 720 ribu jumlah mahasiswa perguruan tinggi keagamaan Islam,” kata Amsal.

Anak-anak usia kuliah, yakni 18 sampai 23 tahun, sekitar 21 juta jumlahnya.

“Tapi hanya 7 juta yang mampu melanjutkan ke bangku kuliah. Dan hanya 700 ribu yang memilih perguruan tinggi Islam. Selebihnya memutuskan melanjutkan ke perguruan tinggi di bawah naungan Kemenristek Dikti atau lembaga dan kementerian lain. Selebihnya yang 68 persen memilih ke dunia kerja,” paparnya.

Problem kedua, lanjut Amsal, masih rendahnya kualitas lulusan perguruan tinggi Islam, sehingga daya saing lulusan masih sangat bervariasi.

“Berdasarkan data Diktis, jumlah program studi agama Islam di Indonesia sebanyak 3600. Meski jumlahnya banyak, namun kualitasnya amat jauh berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Gap ini yang kemudian menjadi perhatian kita. Tantangan kedua ini jauh lebih berat dibanding tantangan pertama,” paparnya.

Atas dasar tersebut, lanjut Amsal, Diktis mencanangkan program Rukun Diktis. Yakni, pertama meningkatkan kualitas akademis yakni yakni meningkatkan kemampuan para pengajar.

“Karena ustadz atau pengajar itu lebih penting daripada metode. Salah satu program yang digiatkan Diktis yakni dengan menciptakan 5000 doktor,” ujarnya.

Langkah kedua menurut Amsal, dengan meningkatkan kualitas perguruan tinggi. Langkah ketiga yakni meningkatkan riset dan publikasi.

“Langkah keempat yakni pengunaan pada pendanaan. Muhammadiyah menjadi satu-satunya andalan kita dalam meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Terakhir, yang harus jadi perhatian yakni infrastruktur,” terangnya.