SMPN 2 Donomulyo Pentaskan Dentam Tambur Cinta Sarip Tambak Oso

MALANGVOICE – “Aku boleh mati. Tapi Sarip Sarip yang lain akan selalu ada dan bergelora, akan tumbuh dalam tambur cinta negeri, yang mendentam-dentam. Tak akan berhenti. Tak akan pernah selesai, selama jiwa kompeni masih ada di sini. Jangan ada pengkhianatan. Jangan ada pengingkaran kecintaan pada bangsa dan negara. Kecintaan pada tanah tumpah darah. Seperti tanah merah yang telah menyatu dalam jiwaku dan jiwa ibuku. Penyatuan jiwa antara anak bangsa dan ibu pertiwinya. Selama darah masih merah, tak ada kata menyerah. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung…”

Itulah sepenggal monolog pada Dentam Tambur Cinta Sarip Tambak Oso, yang merupakan lakon garapan KKSD (Kelompok Kreatif SMPN 2 Donomulyo) pada festival teater SMP se-Jatim, dalam rangka Bulan Bahasa di UM.

“Kisah itu mengajak kita berkaca pada kisah laga Sarip yang dikhianati bangsa sendiri melalui tokoh Paidi, Lurah Gedangan, dan Pamannya,” tutur Drs Agus Winarno, guru SMPN 2 Donomulyo yang sekaligus pembina KKSD.

Cerita itu, kata dia, merupakan kisah legendaris yang sering dipentaskan pada panggung ludruk di mana pun. Namun, dari berbagai ulasan yang ada pada media, pada umumnya kisah Sarip Tambak Oso terjebak pada alur yang sudah begitu bagus. Sehingga penekanan pada pesan moral patriotik melalui tokoh Sarip, dan pesan kehidupan serta kasih sayang melalui tokoh Mak Sarip, sering terabaikan.

Berawal dari itu, Dentam Tambur Cinta Sarip Tambak Oso diharapkan lebih menguatkan gelora jiwa kebangsaan dan kepahlawanan. Juga pesan melalui tokoh Mak berusaha lebih mengena pada calon apresiator. Karena itu, alur cerita ditata ulang dengan lebih padat dan mengena.

Garapan itu sengaja tidak dilepaskan dari nuansa teater tradisional. Sehingga gamelan dan tambur digunakan sebagai pendukung suasana. Beberapa kesan musik teater tradisional (ludruk) sangat terasa. Namun beberapa bagian lain mencoba lepas dari pakem. Misalnya, ada garapan musik gamelan yang dikreasikan untuk menimbulkan nuansa dansa dan perang.

Seluruh pemain dan pemusik merupakan siswa. Sutradara, penulis naskah, penata musik, dan penata artistik ditangani Agus.

“Ini upaya pembelajaran kemandirian dan kecintaan budaya lokal. Mandiri, karena siswa harus berusaha menyelesaikan urusan musik dan keaktorannya. Cinta budaya, karena siswa langsung menjadi pelaku bahwa musik tradisi terbuka bagi peluang kreasi, bahwa musik tradisi harus dimiliki, lestari, dan dicintai,” papar Agus.

Untuk lengkapnya, Agus mengajak untuk menonton pertunjukan itu pada Rabu, 21 Oktober mendatang, pukul 08.30 – 10.00 WIB, di Laboratorium Drama Universitas Negeri Malang.