Sepadan Sungai di Daerah Oro-oro Dowo Sampai Jodipan Rawan Longsor

Direktur Utama PJT I, Raymond Valiant Ruritan. (Toski D)

MALANGVOICE – Perum Jasa Tirta (PJT) I mengimbau masyarakat yang tinggal di sempadan empat sungai besar yang ada di Kota Malang, yakni Brantas, Bango, Amprong, dan Metro, untuk selalu waspada.

Terutama di wilayah bantaran sungai Brantas dari daerah Oro-oro Dowo sampai Jodipan yang menjadi daerah daerah rawan longsor.

“Masyarakat yang terlanjur bermukim disana (Sepadan Sungai) perlu meningkatkan kewaspadaan. Jika rumah sudah mulai ada retakan, maka itu mengindikasikan adanya pergerakan tanah dan rawan longsor,” ungkap Direktur Utama PJT I, Raymond Valiant Ruritan, Kamis (28/1).

Menurut Raymond, jika dilihat dari kondisi geografis dan geologi, Kota Malang berada di lokasi perbukitan yang sebagian besar tanahnya terbentuk dari hasil pelapukan material erupsi di masa silam, sehingga kondisi tanah relatif mudah tererosi oleh air, dan mudah longsor pada saat jenuh.

“Saat ini, tahun 2021 curah hujan intensitasnya sangat tinggi, diprediksi berdampak pada kerentanan longsor yang terjadi di sempadan sungai, apalagi dibebani oleh aktivitas manusia di atasnya,” jelasnya.

Untuk itu, lanjut Raymond, dirinya mengimbau kepada warga yang akan membeli rumah maupun apartemen di daerah sempadan atau dekat sungai juga perlu hati-hati, jangan sampai peristiwa di Jalan Sadang, Kelurahan Bunulrejo, Blimbing dan terdapat satu korban jiwa yang tenggelam di Sungai Bango akibat longsor terulang kembali.

“Pastikan jaminan keamanan yang menjadi kewajiban developer atau pengelola apartemen itu tersedia. Jangan sampai seperti di Bunulrejo terulang,” terangnya.

Apalagi, tambah Raymond, berdasarkan catatan PJT I, debit terbesar Sungai Brantas di Kota Malang 1.580 m3/detik, itu terjadi pada Desember 2007 silam, dan pada tanggal 18 Januari 2021 lalu saat peristiwa longsor di perumahan Griya Sulfat Inside, Bunulrejo tersebut ternyata masih di kisaran 200 m3/detik, bahkan elevasi Kota Malang sekitar 380-400 mdpl, sedangkan dasar sungai berada di 360-370 mdpl, artinya masih terbilang aman. Namun permasalahan yang kerap terjadi lantaran fungsi drainase yang tidak maksimal, dan beralih fungsinya saluran irigasi menjadi drainase.

“Setidaknya, ada perbedaan elevasi 10 meter antara permukaan tanah di kota dengan dasar sungai di sekelilingnya. Artinya, masih ada perbedaan yang cukup untuk mengalirkan air dari drainase ke sungai. Tapi, drainase di Kota Malang tidak mampu mengalirkan air dengan lancar yang menimbulkan genangan yang membuat tanah mudah longsor,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Studi Kebumian dan Mitigasi Bencana Universitas Brawijaya (UB) Malang, Adi Susilo mengatakan, sempadan bukan hak manusia, karena merupakan ruang yang menjadi haknya sungai. Untuk itu, aturan batas sempadan harus dipatuhi dan kearifan lokal juga perlu diperhatikan. Warning dari alam juga perlu diwaspadai agar bencana bisa dihindari.

“Tentu, sempadan yang digunakan sebagai pemukiman maupun aktivitas lain seperti hotel dan apartemen juga menjadi sangat rawan longsor, karena sebelum dilakukan pembangunan, umumnya dilakukan pengurukan tanah yang membuat rentan longsor karena tidak padat,” ucapnya.

Dengan begitu, lanjut Adi, pentingnya koordinasi antar instansi agar ada langkah yang sinergis dalam penanganan bencana di sempadan sungai.

“Masyarakat yang menggunakan sempadan tetap mendapat aliran listrik dari PLN. Jika memang daerah terlarang untuk bangunan, seharusnya izin tidak keluar. Sehingga, proses pemberian listrik juga tidak diberikan,” pungkasnya.(der)