Renungan Hari Pers, Pers Harus Mampu Menjadi Pilar Keempat Demokrasi

MALANGVOICE – Wartawan Senior Kota Malang, Khusnun Djuraid, menekankan, pers merupakan pilar keempat demokrasi, setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Menurutnya, ketika masyarakat semakin paham akan esensi demokrasi, dan kepercayaannya kepada eksekutif, legislatif dan yudikatif mulai luntur, maka pers memainkan perannya dalam hal ini.

“Saat ini banyak masyarakat yang lapor kepada pers terkait permasalahan di sekitarnya, dibanding lapor ke legislatif. Ini bentuk kepercayaan warga pada pilar keempat,” kata Khusnun, dalam dialog peringatan hari pers, di kantor Jawa Pos Radar Malang, malam ini.

Bersamaan dengan itu, wartawan, kata dia, harus mengemban teguh etika jurnalistik dalam melaksanakan tugasnya. “Karena, jika mereka sudah melepaskan etika, maka wartawan tak ubahnya kriminal,” tuturnya.

Khusnun juga menyitir terkait senjakala media cetak yang akhir-akhir ini kerap diperbincangkan. Ia optimis koran masih tetap eksis, karena sejarah membuktikan sejak kemunculan radio dan televisi, media cetak masih bertahan dengan berbagai polemiknya.

“Kalau ada yang tutup, tentu itu karena masalah internal,” tandasnya.

Sementara wartawan senior lain, Noordin Djihad, menegaskan pentingnya fire wall yang memisahkan ruang redaksi dan ruang iklan. “Kepentingan redaksi tidak bisa dimasuki ruang iklan, begitu juga sebaliknya,” katanya.

Sementara Direktur Malang Ekspres, Sunavip Ra Indrata, menilai, saat ini wartawan terlalu asik dengan kecanggihan teknologi, sehingga cenderung malas. Ini tantangan tersendiri bagi dunia pers.

“Dahulu wartawan harus menemui narasumber, sekarang mereka bisa pakai telefon, BBM dan WA. Karenanya, tantangan itu sesungguhnya ada di internal sendiri,” kata Sunavip.

Sedang Ketua IJTI Korda Malang Raya, Hendro Sumardiko, menegaskan, kegelisahan warga terhadap media televisi muncul saat pemilihan presiden beberapa waktu lalu.

“Ditambah dengan konglomerasi media dan hubungan pemilik media dengan partai politik. Karena itu fire wall itu bobol,” ungkapnya.

Ia menilai kondisi seperti itu bukan lagi tantangan, melainkan ancaman internal bagi dunia pers. “Apalagi saat ini media sosial dengan viral-nya mampu membentuk opini publik, contohnya Bom Sarinah kemarin,” kata Hendro.