Merespon Kekerasan Jurnalis di Bandung, Aliansi Jurnalis Malang Gelar Ruwatan

Aksi ruwatan jurnalis Malang dari berbagai media di Alun-alun Kota Malang, Jumat (3/5). (Aziz Ramadani MVoice)

MALANGVOICE – Puluhan jurnalis Malang menggelar ruwatan di Alun – Alun Kota Malang, Jumat (3/5). Mereka berdoa agar tidak ada lagi kasus kekerasan yang menimpa jurnalis saat melakukan tugasnya.

Aksi yang mendapat pengawalan ketat personel kepolisian ini bertepatan dengan momentum Hari Kebebasan Pers atau World Press Freedom Day (WPFD). Sebelum prosesi ruwatan atau upacara tolak bala itu, puluhan jurnalis dari berbagai media ini juga mendesak Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jawa Barat mengusut dan menjatuhkan sanksi bagi polisi yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis Prima Mulia dan Iqbal Kusumadireza. Kedua jurnalis ini diketahui telah menjadi korban kekerasan aparat saat peliputan Hari Buruh Internasional atau Mayday, 1 Mei lalu.

Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang Abdul Malik mengatakan, apa yang terjadi di Bandung merupakan preseden buruk bagi lembaga atau institusi kepolisian. Hal itu juga menambahkan deretan kasus kekerasan terhadap profesi jurnalis saat menjalankan tugasnya.

“Katanya negara ini telah merdeka dan berdemokrasi. Namun nyatanya hingga kini masih banyak kasus-kasus kekerasan yang menimpa jurnalis saat peliputan,” kata Malik.

“Pelaku kekerasan juga didominasi oknum aparat penegak hukum, ini tentu preseden buruk yang seharusnya melindungi Justru melakukan kekerasan,” imbuhnya.

Merespon itu, lanjut dia, maka digelar ritual ruwatan ini. Agar profesi jurnalis tak lagi menjadi sasaran kekerasan.

“Dupa, air, dan bunga ini memiliki simbol. Air misalnya, simbol pembersihan bala atau segala bentuk keburukan, bunga simbol keindahan tuhan, kami berdoa kepada Tuhan, agar tidak ada lagi kasus kekerasan yang menimpa jurnalis,” pungkasnya.

Sementara itu, dalam keterangan tertulis yang diterima MVoice, menjelaskan bahwa kondisi kebebasan pers di Indonesia membaik setelah reformasi, namun kini stagnan alias jalan di tempat. Tercermin dari Indeks Kebebasan Pers yang diluncurkan Reporters Without Borders (RSF) Indonesia tetap berada di peringkat ke 124. Stagnan, tak ada kemajuan sama dibanding 2018 lalu.

Sedangkan peringkat pertama Norwegia, kedua Finlandia disusul ketiga Swedia. Di kawasan ASEAN Timor Leste menempati peringkat 84, Malaysia lebih baik dari Indonesia berada di peringkat 123, sedangkan Filipina peringat 134, Thailand berada di posisi 136 dan Singapura peringkat 151.

RSF menyebut posisi Indonesia stagnan karena pembatasan akses media meliput di Papua. Termasuk aparat yang mengusir jurnalis BBC Rebecca Alice Henschke dan Heyder Affan pada Februari 2018 ketika meliput isu kemanusiaan. Presiden Joko Widodo tak menepati janji akan membuka akses bagi jurnalis pada 2017 lalu.

Remisi untuk Susrama otak pembunuh jurnalis Radar Bali, Prabangsa dari hukuman seumur hidup menjadi 20 juga menciderai kebebasan pers. Meski kemudian dibatalkan setelah jurnalis dan organisasi pers ramai-ramai memprotes remisi tersebut.

Selain itu, Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik turut mengancam kebebasan pers di Indonesia. Laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) selama 10 tahun terakhir sejak 2008-2018 sebanyak 245 laporan warga yang dijerat UU ITE. Termasuk pemidanaan 14 jurnalis dan tujuh media

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat selama kurun waktu setahun Mei 2018-Mei 2019 tercatat 42 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Terbanyak terjadi kekerasan fisik 17 kasus, pemidanaan 7 kasus dan ancaman kekerasan atau teror 6 kasus. Pelaku terbanyak warga 10 kasus, polisi 7 kasus, ormas 6 kasus dan aparat pemerintah 5 kasus.

Terbaru kasus kekerasan terhadap jurnalis dialami dua jurnalis saat liputan hari buruh internasional di Bandung, 1 Mei 2019. Penyintas terdiri dari fotografer Tempo Prima Mulia dan jurnalis freelance Iqbal Kusumadireza (Reza). Kaki kanan Reza mengalami luka dan memar. Polisi juga menghapus gambar yang diabadikan Reza.

Preseden buruk juga dialami jurnalis Ghinan Salman. Pekan lalu, Pengadilan Negeri Bangkalan memvonis bebas orang yang menganiaya dan menghalangi melakukan kerja jurnalistiknya.

Sejauh ini masih ada impunitas atau pembiaran kasus jurnalis yang terbunuh karena berita. Meliputi Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin, jurnalis Harian Bernas Yogyakarta, Naimullah, jurnalis Sinar Pagi, Agus Mulyawan jurnalis Asia Press, Kameramen TVRI Muhammad Jamaluddin, Ersa Siregar jurnalis RCTI, Herliyanto, jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo, Adriansyah Matra’is Wibisono di Merauke, Papua, jurnalis TV lokal Merauke, dan Alfred Mirulewan dari tabloid Pelangi.

Atas kondisi kemerdekaan pers di Indonesia, jurnalis Malang Raya menyerukan :
1. Mengingatkan jurnalis untuk mematuhi kode etik dan memegang teguh UU Pers dalam melaksanakan kerja jurnalistik.
2. Meminta semua pihak untuk menggunakan mekanisme yang diatur UU Pers dalam menyelesaikan sengketa pemberitaan.
3. Setop impunitas, usut dan ungkap kembali kasus jurnalis yang terbunuh karena berita.
4. Menuntut Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Jawa Barat mengusut dan menjatuhkan saksi bagi polisi yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis Prima Mulia dan Iqbal Kusumadireza.
5. Menuntut Presiden Joko Widodo membuka akses bagi jurnalis di Papua. (Der/Ulm)