Mengenal Seruling Minang di Arena MCP Music Festival

Seruling Sumatera, selain memiliki bentuk dan ukuran berbeda, alat musik tiup berbahan dasar bambu itu juga memiliki fungsi berbeda.

MALANGVOICE – Indonesia kaya akan instrumen musik. Tak semata instrumen kesenian, alunan alat musik Nusantara juga kerap menjadi pengantar kegiatan ritual. Di Sumatera misalnya, ada beberapa alat musik tiup berbagai ukuran. Mulai yang kecil bernama Bansi ,hingga Saluang yang biasanya dimainkan untuk mengiringi suara penyanyi melantunkan pantun-pantun.

Kini, ragam alat musik tiup berbahan bambu khas Sumatera itu ditampilkan di MCP Music Festival. Bansi, Sarunai, Sampelong, hingga Saluang dipamerkan dan dijual dengan kisaran harga ratusan ribu rupiah.

Sebagai alat musik khas ranah Minang, baik Bansi, Sarunai, Sampelong atau Saluang memiliki ragam hias ukiran rumah adat Sumatera pada bagian tubuhnya, sebagai identitas kedaerahan.

Perajin alat musik Nusantara, Putut Prabu, mengatakan, meski sama-sama alat musik tiup, namun keempatnya memiliki fungsi dan suara yang berbeda. Bansi misalnya, suara yang dihasilkan cenderung tinggi dan biasanya dipakai untuk mengiringi tarian adat.

“Kalau untuk Sampelong, nada yang dihasilkan cenderung ada pengaruh Jawa, tepatnya dari kerajaan Sriwijaya,” jelas Putut.

Di antara beberapa jenis alat musik tiup itu, Saluanglah yang paling sulit dimainkan, karena pemainnya harus menguasai bentuk bibir, agar suara yang dihasilkan bisa maksimal. Selain itu, pemain Saluang harus mampu menarik dan menghembuskan napas di antara tiupan, sehingga lagu yang diperdengarkan akan terdengar utuh, tidak ada yang terputus.

“Saluang sendiri sebenarnya juga memiliki jenis yang beragam. Bahkan ada juga Saluang untuk ilmu hitam, namanya Saluang Sirompak,” ucap dia.

Untuk Saluang Sirompak, pembuatan lubang harus menunggu kejadian tertentu yang sama. Pria yang telah membuat alat musik Nusantara dari Sabang sampai Merauke itu mencontohkan ada kecelakaan, Saluangnya dilubangi satu, nanti jika ingin melubangi lagi, harus menunggu kejadian serupa. Karena itulah pembuatannya membutuhkan waktu lama.

“Tapi sekarang yang seperti itu sudah tidak ada, Saluang lebih banyak dimainkan untuk pertunjukan seni,” jelas Putut.