Mencari Pengawas Sungai Brantas

Sungai Brantas Darurat Limbah

Lemah Pengawasan dan Penindakan
LSM Lingkungan Hidup Ecoton mengkritik sistem penilaian Proper yang tidak berjalan maksimal. Karena pengawasan hanya dilakukan siang hari. Padahal, pabrik membuang limbah ke sungai pada pukul 00.00 dini hari. Ecoton menilai Proper justru dianggap sebagai alternatif pengawasan, yang cenderung mengesampingkan pengawasan rutin. “Sekalipun hasil Proper berwarna merah dan hitam, tidak lantas ditindaklanjuti dengan sanksi,” kata Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton. “Pasalnya terdapat kesimpangsiuran lembaga yang berwenang memberikan sanksi.”

Di sisi lain, ketika lembaga di luar pemerintah seperti Ecoton menyampaikan pencemaran yang dilakukan industri, dalam pembuktian pencemaran, samplingnya harus diambil petugas Dinas Lingkungan Hidup. Padahal jumlah petugas terbatas.

Prigi mengatakan Ecoton pernah berinisiatif memantau pabrik Tjiwi Kimia, Cheil Jedang Samsung, Multibintang Bir Bintang, dan pabrik kertas lain. Temuan pelanggaran industri itu telah dilaporkan Dinas Lingkungan Hidup, sayangnya tidak ada tindak lanjut. “Industri di Kabupaten Mojokerto lebih percaya diri karena Dinas Lingkungan Hidup lebih berpihak pada pabrik,” ujarnya.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur memiliki catatan terkait ancaman ekologis di Jawa Timur karena regulasi yang lebih condong dan berpihak terhadap kepentingan investasi. Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim, Rere Christanto, mengatakan, menemukan 69 regulasi dikategorikan sebagai ancaman terhadap keselamatan ekologi. Rincinya, 35 regulasi tingkat pusat, 3 regulasi tingkat provinsi, dan 31 regulasi tingkat daerah. “Regulasi ini menjadi ancaman terhadap ekologis Jawa Timur,” kata Rere.

Sementara, IndoWater Cop secara mandiri bersama jaringannya melakukan penelitian senyawa-senyawa kimia yang terkandung di dalam sungai di Indonesia. Pendataan sumber, jenis dan konsentrasi SPH yang berdampak pada satwa liar dan masyarakat yang tinggal di kawasan tercemar berat.

Berdasarkan data yang mereka miliki, lembaga ini mendorong pemerintah merevisi peraturan Peraturan Pemeritah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Laut dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Hal penting dalam revisi ini tak lain menambahkan pengendalian pencemaran air dan penambahan parameter SPH.

Dorongan itu muncul lantaran Polychlorinated biphenyls (PCB), salah satu yang diketahui memiliki konsentrasi sangat tinggi di Sungai Ciliwung dan Sungai Brantas belum terakomodasi dalam PP nomor 82 tahun 2001. Begitu juga metabolit DTT (DDD, DDE) penting dimasukkan dalam baku mutu kualitas air mengingat jumlah dan distribusinya melimpah di perairan.

Riska Darmawanti, Koordinator Nasional IndoWater CoP menjelaskan PCB berbahaya bagi kesehatan. Sebab, sifatnya tidak mudah larut di dalam air tetap larut dalam minyak atau lemak. Jika senyawa ini masuk ke dalam tubuh, tidak mudah dikeluarkan dan akan terakumulasi secara biologi di dalam jaringan lemak.

Selain itu, PCB juga beracun, tidak hanya berbahaya bagi hewan dan lingkungan. “Pada manusia dapat menyebabkan kanker, mengganggu sistem kekebalan tubuh, sistem saraf dan menyebabkan penebalan kulit,” kata Riska menambahkan.