“Saya Kapok Jadi TKI Ilegal!…”

Mantan TKI bersama Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Malang, Kadisnaker dan stakeholder. Mereka sepakat menyuarakan Stop TKI Ilegal.(Miski)
Mantan TKI bersama Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Malang, Kadisnaker dan stakeholder. Mereka sepakat menyuarakan Stop TKI Ilegal.(Miski)

MALANGVOICE – Menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri menjadi pilihan banyak orang.

Tidak hanya sekadar faktor ekonomi semata, tapi besarnya gaji yang diterima dibanding bekerja di negaranya sendiri menjadi salah satu alasan.

Namun, harapan tersebut hanya bisa didapat manakala berangkatnya melalui prosedural yang sah atau menjadi TKI legal.

Sebaliknya, apabila berangkat secara ilegal, setiap hari dihantui rasa was-was dan takut adanya razia kepolisian setempat. Bahkan, jika tertangkap basah, mereka akan dideportasi ke negara asal.

Sumarsono Edi Santoso misalnya. Mantan TKI asal Desa Sumberkerto Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang ini pernah merasakan bekerja di Arab Saudi. Dengan status pekerja ilegal, ia harus kejar-kejaran sama aparat.

Pekerjaan yang didapatnya serabutan. Beberapa bulan dihabiskan di pabrik dan kemudian bekerja di bangunan.

Setiap bulan, Sumarsono mendapat bayaran Rp1.500 Riyal saat bekerja di pabrik setiap bulannya. Sedangkan bekerja di bangunan ia digaji Rp150 Riyal per hari.

“Tidak tenang, kalau ada razia pasti kami kabur, sehingga harus pindah-pindah kerja,” akunya.

Ia dipulangkan secara paksa setelah tertangkap aparat. Bapak tiga anak ini tidak bisa menunjukkan dokumennya.

“Saya sengaja menyerahkan diri, karena kangen keluarga di rumah,” ungkapnya.

Dua tahun bekerja di Arab Saudi dengan status pekerja ilegal Sumarsono mendapat banyak pengalaman.

Secara gaji, lanjut dia, memang menggiurkan, apalagi tidak ada potongan seperti halnya TKI legal. TKI legal harus membayar ke perusahaan tempat ia diberangkatkan.

Namun, status ilegal tersebut kadang dimanfaatkan pemilik tempatnya bekerja.

“Tidak ada kontrak dan jaminan apapun. Bahkan, saya sempat merasakan tidak digaji, kami tidak berani melapor, karena statusnya pekerja ilegal. Pekerja seperti kami kerap dapat perlakuan kurang baik. Saya kapok jadi TKI ilegal,” cerita dia mengenang pengalaman pahitnya bekerja di luar negeri.

Sumarsono berangkat ke Arab Saudi dengan modus Umrah. Setelah selesai melangsungkan ibadag haji, ia memilih menetap dan mencari kerja.

Ia kemudian bertemu dengan kerabatnya yang lebih dahulu berada di Arab Saudi dan ikut kerja bersamanya.

“Tujuan saya mau ibadah, kemudian cari kerja. Kalau alasannya jadi TKI kan tidak bisa beribadah,” tuturnya.

Sepulang dari perantauan, Sumarsono memilih hidup dengan keluarganya. Setiap hari ia bekerja sebagai buruh bangunan.

Mantan TKI lain, Sriati, mungkin l3bih beruntung. Ia berangkat secara legal, sehingga selama bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Arab Saudi, ia tidak pernah berurusan dengan aparat.

Majikan tempat ia bekerja pun baik padanya. Sriati bahkan dianggap sebagai keluarga, ia juga mengantongi KTP di negara tersebut.

“Kalau resmi, sama majikan Paspor diminta dan saya dimasukkan dalam Kepala Keluarga (KK). Enaknya bekerja resmi ya begitu,” katanya.

Tidak sedikit pekerja sepertinya tak seberuntung dirinya. Meski berangkat secara resmi, tapi bekerja dengan majikam yang tidak enak akan mendapatkan sebaliknya.

“Sebagian teman-teman saya dapat majikan yang kasar, sehingga kerap disiksa jika kami kerjanya dinilai tidak becus,” ungkap dia.

Berangkat dari pengalamannya, ia mengajak warga yang ingin jadi TKI sebaiknya berangkat secara legal.

“Kalau legal bisa ngadu ke kantor perwakilan RI jika ada masalah. Hak-hak kita pasti dipenuhi,” ajak dia.