Kampung Budaya Polowijen Terus Dikembangkan Demi Lestarikan Budaya Malang

Penggagas Kampung Budaya Polowijen, Isa Wahyudi. (Lisdya)
Penggagas Kampung Budaya Polowijen, Isa Wahyudi. (Lisdya)

MALANGVOICE – Kampung Budaya Polowijen di Jalan Cakalang, Blimbing, yang sudah ada sejak tahun 2017 lalu kini semakin dikembangkan.

Sebelum dibentuknya Kampung Budaya Polowijen diawali dengan kegiatan sarasehan diskusi dan study banding tentang kampung budaya. Hal ini dijelaskan oleh Penggagas Kampung Budaya Polowijen, Isa Wahyudi kepada awak media, Senin (30/7).

“Kami diskusi dahulu, karena ini mencakup situs sejarah dan budaya di Malang,” ujar pria yang akrab disapa Ki Demang tersebut.

Isa menegaskan jika pemberian nama Kampung Budaya Polowijen disebabkan karena lokasi yang dekat dengan situs Kendedes.

“Karena ini warisan budaya. Kita tahu sejarah Kendedes itu seperti apa, makanya kami buat kampung yang bisa melestarikan budaya kita,” tegasnya.

Tak hanya berkaitan dengan situs Kendedes, kampung budaya ini juga melestarikan topeng Malangan.

“Karena ini dekat dengan makam Mbah Reni, beliau pencipta topeng Malangan makanya dibuatlah jadi satu kampung budaya ini. Untuk pasar topeng diresmikan guna menampung teman-teman dari para pengrajin topeng untuk dijual kembali. Mereka rata-rata berasal dari Pakisaji dan Tumpang,” imbuhnya.

Selain itu, keunikan kampung budaya ini ada di rumah-rumah yang dihiasi dengan anyaman bambu atau dalam bahasa Jawa disebut gedeg.

“Nah, proses membangun rumah-rumah replikasi anyaman bambu karena dalam ceritanya Kanjuruhan disebutkan rumah-rumah bambu, dari situ idenya. Jadi kami membuat seperti ini bukan suatu alasan,” paparnya.

Namun, hanya saja ada yang kurang dari kampung budaya ini, yakni minimnya spot untuk pemain gamelan.

“Seperti gazebo perpustakaan yang ukurannya 3X3. Tapi untuk spot gamelan minimal 4×8. Itu yang kurang, kalau untuk menari saja biasanya kami menari di mana-mana bahkan di makam,” pungkasnya.(Der/Aka)