Bantuan FSI Makin Luas, Sasar Lansia Buta dan Anak Didik Pemulung

FSI melebarkan bantuan. (istimewa)

MALANGVOICE – Perjalanan berbagi nasi dan kebahagiaan Food Sharing Indonesia (FSI) kali ini terasa berbeda.

Berkolaborasi dengan Organisasi Arek Kepanjen (AK) dan Yonzipur, gerakan sosial FSI memberikan donasi nasi dengan cara mendatangi satu persatu penerima bantuan donasi berupa nasi kotak dan masker, Jumat (2/10).

Berkeliling ke kawasan Pakisaji, Kepanjen, Ngajum, Sumberpucung, Gunung Kawi, Wonosari, Kromengan, Gondanglegi dan Bululawang. Beragam kisah miris mengiris hati menguras air mata ditemui oleh tim. Founder FSI, Shella Sabillah Alamri dan Dian Ayu Antika Hapsari tak kuasa menahan air mata.

Seperti Mbah Ponidi, 88, warga Jalan Ardirejo, Kepanjen. Mbah Ponidi hidup sebatang kara. Buta sejak beberapa tahun yang lalu. Berjalannya dibantu tongkat. Rumahnya sempit dengan peralatan seadanya.

Kasurnya tipis, hanya dialasi kardus bekas agar lebih hangat. Tetangga kanan kirinya kondisinya tidak lebih baik. Beruntung, mereka semua bersedia membantu si Mbah yang dulunya tukang becak itu.

“Menawi sakit, nggih dibantu tanggi. Misal masuk angin nopo butuh dibeto ten griyo sakit (jika sakit, ya dibantu tetangga. Misal masuk angin atau butuh dibawa ke rumah sakit),” kata Mbah Ponidi yang pendengarannya masih jelas.

Sebetulnya Mbah Ponidi masih memiliki seorang anak laki-laki yang tinggal di Jombang. Hanya berkunjung sesekali saja. Ketika ditanya mengapa tidak tinggal bersama anaknya saja. Mbah menjawab dengan wajah sendu. Jawabannya membuat pilu.

“Di sana anak dan menantu. Kondisi mereka juga sama susahnya. Buruh serabutan. Saya nggak tega jika harus tinggal dengan mereka,” kata Mbah Ponidi.

Kisah pilu lansia dampingan AK bukan hanya Mbah Ponidi saja. Di lokasi kedua, kami bertemu dengan Mbah Satinem, 87. Rumahnya di pinggir kali. Kondisinya tidak kalah memprihatinkan. Tidurnya di lantai hanya dengan kasur tipis, tikar dan terpal.

Mbah Satinem tinggal sendiri sudah puluhan tahun. Suaminya meninggal dunia, dan mbah yang suaranya masih lantang dengan pendengaran yang masih jelas pun tidak memiliki anak.

“La nopo wedi piyambakan. Wong tanggine nggih sae. Mboten perlu ajre (kenapa harus takut. Tetangganya baik-baik. Tidak perlu takut,” kata Mbah.

Di tempat lain, Mbah Kastin, buta dan tinggal sendiri. Warga Jalan Rojo Talun RT 8 RW 2, Dusun Boro Utara, Desa Curungrejo, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Dia pun tak memiliki anak.

“Nggadah bojo tapi mboten nggadah anak. Bojo kulo rabi ping tigo, mboten nggadah anak sedoyo (punya suami tapi tidak punya anak. Suami saya menikah tiga kali tidak punya anak semua),” katanya.

Rumahnya pun memprihatinkan. Dengan peralatan seadanya. Tidak ada peralatan elektronik di dalamnya. Bahkan radio tua pun tidak. Terdapat dipan di ruang tamu. Terlihat sajadah dan mukenah serta beberapa pakaian. Tongkat yang biasanya digunakan tuna netra tersandar di dinding.

“Mbah Kastin ini setiap saat berjalan dibantu tongkat, menuju mushola kampung. Beliau selalu salat jamaah di sana,” jelas Sulis Nur Hayati, Manager Divisi Pendidikan dan Perempuan Sumber Daya Manusia.

Saat masuk ke rumahnya, pencahayaan sangat minim. Mbah Kastin bercerita, aliran listriknya diputus oleh tetangganya. Selama ini, mbah mendapatkan aliran listrik dengan menyalur dari tetangga.

Bukan karena tak mampu membayar. Tapi karena Mbah terlibat perselisihan paham. Usut punya usut, si Mbah memiliki sebidang tanah yang ditanaminya dengan tanaman untuk menyambung hidup. Namun si tetangga kerap meletakkan kayu bakar sehingga tanaman milik Mbah mati dan tak dapat tumbuh.

“Sekali saya diamkan. Kemudian karena tanaman saya mati. Saya tegur. Ternyata orangnya tidak terima. Marah-marah dan diputus lampu saya,” cerita Mbah dengan bahasa Jawa dan suara yang lirih.

Selama Covid ini, sudah empat bulan Mbah tidak mendapatkan bantuan sembako. Beruntung ada tetangga yang baik hati kepadanya.

“Tetangga depan ini kalau pagi memberi saya sarapan. Kalau setelah salat isya saya diminta tidur di sana,” cerita Mbah.

Lain lagi dengan Mbah Kaseni, 78, warga Desa Wonokerso. Mbah Kaseni yang pendengarannya berkurang ini hidup seorang diri. Beruntung kedua matanya masih dapat melihat.

Saat tim datang ke rumahnya yang sederhana tanpa ada peralatan elektronik dan semua perabotannya kuno, Mbah menyambut dengan langkah tertatih dan badan yang membungkuk.

“Ini kaki saya sakit, sudah lama,” kata Kaseni.

Kaseni menyambut dengan senyum semringah. Namun untuk berkomunikasi, harus berteriak-teriak karena pendengarannya sudah jauh berkurang.

Menurut cerita tetangga Kaseni yang kerap menolong nenek renta ini, sebetulnya Mbah memiliki seorang putri. Namun kabarnya merantau ke Kalimantan.

“Pergi sejak ibu saya masih perawan sampai sekarang nggak pernah kembali. Kabar juga tak pernah ada,” kata Evi. Diperkirakan anak si Mbah sudah merantau selama 30 tahun dan tak pernah kembali.

Kebutuhannya banyak dibantu oleh warga sekitar. Terutama Evi. Mulai dari makan hingga kesehatan. Mbah Kaseni beruntung dikelilingi banyak orang baik. Relawan AK salah satunya.

Kisah paling pilu dialami oleh Mbah Darning, 84. Warga Jalan Monginsidi RT 4 RW 2, Dusun Sanggrahan, Desa Mangunrejo, Kecamatan Kepanjen ini hanya ditemani oleh seekor kucingnya. Puluhan tahun Mbah sendirian. Sebatang kara tanpa anak tanpa suami.

Rumahnya berdinding papan yang dicat warna putih. Jendelanya dibiarkan menutup dengan rapat. Ketika tim masuk, aroma minyak gas menyeruak dengan keras.

Kondisi rumahnya sangat memprihatinkan. Lampu menyala redup dengan suara radio tua yang sudah kehilangan frekuensinya. Mengeluarkan suara seperti dengkuran tak beraturan.

Langit-langitnya menjadi tempat yang nyaman bagi laba-laba bersarang dan berkembang biak.

Di mejanya dipenuhi peralatan makan yang kotor. Tidak ada makanan di sana. Rupanya sedari pagi Mbah belum makan. Pantas saja nenek dari Lumajang ini sangat senang menerima nasi kotak dari FSI.

“Mbah sampun dhahar (Mbah sudah makan)?” tanya salah satu founder FSI, Dian Ayu Antika Hapsari.

Kondisi rumah Mbah tidak bisa disebut rumah yang layak. Sampah dan barang rusak menumpuk menjadi satu. Begitu juga di kamar. Kasurnya tipis dengan bantal yang sudah kumal tanpa selimut. Barang kotor berserakan dimana-mana.

Tanpa sadar air mata menetes. Manakala menyaksikan Mbah begitu senang gubuk kecilnya didatangi oleh FSI dan AK. Banyak doa tulus dilontarkan dari bibir wanita renta itu.

Tak diminta, Mbah menengadahkan kedua tangannya. Meminta kepada Sang Khalik agar memberikan tim kesehatan dan kelancaran rejeki dan segala urusan. Meskipun kondisinya tidak sejahtera, namun Mbah Darning masih memiliki hati untuk mendoakan kesejahteraan orang lain.

“Mbah sudah kenyang hidup susah. Sampai makan batang pisang. Mbah mengucapkan terimakasih perhatiannya. Tidak ada yang memperhatikan Mbah jika bukan anak-anak (tim). Sekarang mbah tidak bisa melihat. Tolong beri mbah obat,” kata Mbah seraya menangis sesengukan dan memeluk Lis dan Tika.

Jika tidak terbatas waktu dan titik lain yang harus dikunjungi, ingin rasanya berlama-lama bersama dengan si mbah yang sebatang kara itu. Sedikit menjadi penghibur di usia senjanya yang mendung. Menemaninya dan mendengarkan kesahnya yang menyayat hati.

Tim harus melanjutkan perjalanan menguning anak didik AK. Anak didik ini berasal dari keluarga tak mampu. Kebanyakan adalah anak yatim bahkan yatim piatu.

Salah satunya adalah Aditya Saiful Anam, 11. Warga Desa Jenggolo, Kecamatan Kepanjen. Dia tinggal dengan ibunya di sebuah gubuk terbuat dari anyaman bambu.

Siswa SDN Jenggolo 2 kelas 5 ini setiap harinya memulung sampah. Hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhannya dan ibunya.

“Setiap hari, setiap siang saya memulung sendirian. Sudah biasa sejak kecil diajak ibu memulung,” katanya yang memulung sambil mengayuh sepeda tuanya.

Lis menjelaskan, bentuk pendampingan AK kepada lansia dan anak didik bermacam-macam. Mulai dari mencukupi kebutuhan mereka, advokasi kesehatan hingga santunan.

“Kami juga memberikan pelatihan kepada anak didik. Agar mereka mendapatkan kemampuan dan life skill,” tutupnya. (der)