Apapun yang Tren di Medsos Tak Terjamin Kebenarannya. Ini Penjelasannya!

Anang Sujoko (anja)
Anang Sujoko (anja)

MALANGVOICE – Komunikasi elektronik menawarkan revolusi cara berkomunikasi. Komunikasi terjadi secara equal, cepat, mudah dan terdokumentasi dengan mudah.

Alhasil dengan beragam terpaan media, membuat manusia menerima informasi bertubi-tubi dengan beragam prespektifnya.

Dosen Komunikasi Universitas Brawijaya, Anang Sujoko DCOMM menjelaskan, seseorang bisa diterpa berbagai media. Media menjadi andalan sebagai kepanjangan indera manusia. Dari situlah pasokan realitas media menjadi bahan dasar dalam mengkontruksi realitas baru. Artinya gambaran dunia adalah apa yang di kepala.

“Sangat mungkin sebuah peristiwa akan dikonstruksi media atau individu menjadi sebuah realitas baru,” kata Anang.

Jika isu tersebut menjadi viral, lanjutnya, maka ada potensi yang kabur antara realitas sebenarnya dan realitas media.

“Istilahnya adalah hyperreality. Sebuah kenyataan atau realitas media, sebagai sebuah dakta yang direkayasa dan dimanipulasi,” tandasnya.

Realita media yang belum tentu benar ini lebih dipercaya. Kepalsuan dianggap sebagai sebuah fakta empiris.

“Perilaku yang cenderung menerima informasi palsu untuk menguatkan opininya membuat masyarakat cepat membangun hyperrrality,” katanya.

Sebagai contoh, berita hoax ternyata sangat mudah dipercaya. Bahkan, lanjutnya, seorang penulis berita hoax dari Amerika mengaku dibayar puluhan ribu dolar dari menulis berita palsu yang kontennya menyerang Hillary Clinton saat pemilu AS 2016.

“Gara-gara berita palsu, konflik sosial bisa terjadi,” tandasnya.