Yockie Suryo Prayogo dan Joko Saryono Kupas Musik Pop di God Bless Cafe

Yockie Suryo Prayogo dalam Diskusi musik di God Bless Cafe

Yockie Suryo Prayogo dalam Diskusi musik di God Bless CafeMALANGVOICE – Musisi Senior Indonesia, Yockie Suryo Prayogo, siang ini menjadi pembicara dalam diskusi musik pop Indonesia di God Bless Cafe, Sawojajar.

Hadir dalam acara itu, para musisi ternama seperti Wiwie GV, Roy Jeconiah, Wahyu Arema Voice, serta musisi lan dan pemerhati musik yang ada di Kota Malang.

Tampil bersama Yockie, guru besarĀ  Universitas Negeri Malang (UM), Prof Joko Saryono, yang membahas seluk beluk dunia musik dari perspektif akademis.

Joko Saryono, dalam paparannya, menerangkan, musik dalam lensa pandang kebudayaan merupakan bagian penting dari budaya sejak ribuan tahun lalu.

“Sekitar 80 ribu tahun sebelum ada agama Ibrahimi dan non Ibrahimi lahir, musik ini sudah ada dan dimainkan masyarakat,” kata Joko Saryono.

Yockie Suryo Prayogo dalam Diskusi musik di God Bless CafeDijelaskan pula, pada abad ke 30 sebelum masehi, musik juga sudah menjadi satu dalam kehidupan masyarakat yang tidak terpisah dalam kehidupan sosial dan politik sehingga dapat ditarik kesimpulan jika musik tidak dapat dipisahkan dari sejarah umat manusia di berbagai zaman.

Selain itu, menurut Joko Saryono, musik tidak hanya sekadar bunyi-bunyian semata namun juga nilai dan norma budaya yang selalu mengikutinya.

“Musik ini memiliki basis sosiologis yang kuat tergantung basis materialnya yang ada, dan itu berbeda di setiap zaman dan kebudayaan,” tukasnya.

Seiring dengan berjalannya waktu, maka modernisasi dan industrialisasi makin menggerogoti basis simbolik yang membawa nilai dan budaya dalam musik.

“Kolonialisasi musik Belanda merupakan bagian penting untuk industrialisasi. Karena sudah dianggap tidak penting maka sekarang menggunakan cara globalisasi yang tidak lain adalah penyeragaman, dan itu berpengaruh kepada musik,” bebernya.

Efek globalisasi membuat adanya keseragaman selera dalam segala lini kehidupan termasuk dalam dunia musik, sehingga menyebabkan ada standarisasi yang menghilangkan nilai dan norma yang diusung.

“Kita saat ini melihat ada penyeragaman selera lidah tapi pikiran, estetis, musik sehingga terjadi kemiskinan corak musikal dan itu terjadi secara masif, dan semua orang mencoba mengikuti standard yang ada,” imbuhnya.

Pada akhir 1990-an, Globalisasi sudah mengalami perlawanan atau sudah mengalami patologi, hal itu dikarenakan bangkitnya identitas lokal dan nasional.

“Globalisasi menghadirkan serangan balik, dan saat ini identitas lokal sudah bangkit. Pertanyaannya apakah musisi bisa responsif terhadap hal ini, saya kira masih hanya sebagian,” ungkapnya.