UMM dan Polri Dialogkan Revisi UU Terorisme

MALANGVOICE – Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan PP Muhammadiyah bekerjasama dengan Kepolisian RI (Polri) menggelar focus group discussion (FGD) kajian hukum, di Ruang Sidang Senat UMM, hari ini, membahas revisi UU yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dan perlindungan HAM.

UU yang dimaksud yakni UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ada tujuh muatan UU yang akan direvisi yaitu pertama, kriminalisasi dan penalisasi terhadap berbagai modus baru tindak pidana terorisme. Kedua, pemberantasan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana terorisme, baik percobaan, maupun permufakatan jahat dan pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme.

Ketiga, perluasan sanksi pidana terhadap korporasi yang dikenakan pada pendiri, pemimpin, pengurus, atau yang mengarahkan kegiatan korporasi. Keempat, penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan paspor dan pencabutan kewarganegaraan Indonesia yang oleh pejabat yang berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan.

UMM dan Polri2

Kelima, di luar proses pengadilan, pejabat yang berwenang dapat mencabut paspor dan mencabut kewarganegaraan RI pada setiap warga negara Indonesia yang melakukan pelatihan militer, paramiliter dan pelatihan lainnya dan/atau ikut perang di luar negeri untuk tindak pidana terorisme.

Keenam, kekuhususan terhadap hukum acara pidana (lex specialis) seperti penambahan waktu penangkapan, penahanan, dan perpanjangan penahanan untuk kepentingan penyidik dan penuntut umum serta penelitian berkas perkara tindak pidana terorisme oleh penunut umum.

Ketujuh, penanggulangan tindak pidana terorisme dilaksanakan oleh instansi sesuai dengan fungsi dan kewenanangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah non-kementrian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme.

Dalam diskusi ini hadir Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syaiful Bakhri, Kepala Divisi Hukum Mabes Polri Setyo Wasisto, Pakar Hukum Pidana FH UMM Sidik Sunaryo dan Komisioner Komisi Nasional HAM, Siane Indriani.

Dalam paparannya, Setyo Wasisto mengatakan, perubahan atas UU tersebut perlu dilakukan untuk memberikan landasan hukum yang lebih kokoh untuk menjamin perlindungan dan kepastian hukum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme. Selain itu, juga untuk memenuhi kebutuhan perkembangan hukum masyarakat.

“Makanya, perlu dilakukan perubahan secara proporsional dengan tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan penegakan hukum, perlindungan hak asasi manusia serta kondisi sosial politik di Indonesia,” jelasnya.

Sementara itu, Syaiful Bakhri mengatakan, terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang membutuhkan pola penanganan dengan cara-cara yang luar biasa juga. Maka menurutnya, pemberantasan masalah terorisme tidak dapat menggunakan cara-cara yang biasa dilakukan seperti menangani tindak pidana umum lainya.

“Korban dari tindak pidana terorisme tidak hanya sebatas pada korban jiwa saja, tapi juga perusakan bahkan penghancuran dan pemusnahan harta benda, lingkungan hidup, sumber ekonomi, bahkan kegoncangan yang kuat dalam bidang politik, sosial dan ekonomi,” paparnya.

Ia menambahkan, perlu pemahaman mengenai karakter kejahatan terorisme. Kejahatan terorisme, Syaiful menjelaskan, terletak pada ideologi politik yang ada dalam pola pikir pelaku atau aktor yang mempengaruhinya. “Di sinilah perlu adanya formulasi yang tepat dalam menilai dan menangani konsepsi kejahatan ini,” terangnya.

Sementara itu Sidiq Sunaryo menjelaskan keterkaitan konstitusi dengan pencegahan dan pemberantasan terorisme. Ia menilai, dalam UUD 1945 tergambar bagaimana penanganan terorisme seperti humanitas, keberadaban, sentripetal, keseimbangan dan sentrifugal. “Perlu adanya tindakan persuasi dan deradikalisasi dalam upaya penanganan non-penal terhadap kasus terorisme,” jelasnya.

Di sisi HAM, Siane Indriani memaparkan, dalam penanganan tindak pidana terorisme banyak fakta didapat bahwa sering terjadi penyimpangan yang dilakukan aparat kepolisian. Merujuk kasus Siono yang terjadi beberapa waktu lalu, Ia menjelaskan sudah ada regulasi yang melandasi tugas Densus 88 di Polri dalam penggunaan upaya paksa pada tahap penangkapan tersangka teroris.

Aturan tersebut termaktub dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian serta Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM. “Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian diatur secara rinci, setiap tindakan polisi dalam melaksanakan tugasnya wajib menghormati HAM,” tegasnya.

Dekan FH Hukum UMM, Sulardi berharap pembahasan dalam diskusi ini dapat menghasilkan aturan yang jelas dalam hal penangananan tindak pidana terorisme baik dari sisi penegakan hukum maupun perlindungan HAM. “Dengan aturan ini, diharapkan bisa memberikan keleluasaan yang jelas dan tegas bagi penegak hukum dalam menangani terorisme dan tidak terjadi pelangaran HAM dalam penegakannya,” pungkasnya.

Dalam acara yang dihadiri Dekan FH Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) se-Indonesia ini, hadir pula Direktur Harmonisasi Ditjen PP Kemenkumham, Deputi Penindakan dan Pembinaan Badan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Direktur Program The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), dan LSM Kontras.