Tiga Bulan Wiwie Merasa ‘Setengah Mati’

Viva Permadi bersama pemain Sasando yang membantu proyek instrumen etnik. (foto: Ist)

Viva Permadi bersama pemain Sasando yang membantu proyek instrumen etnik. (foto: Ist)MALANGVOICE-Dalam penyelesaian proyek instrumen etnik, Viva Permadi alias Wiwie membutuhkan waktu cukup lama. Namun, tiga bulan sebelum penerimaan rekor Muri, dia merasa waktu yang paling melelahkan, sekaligus menjemukan.

Pasalnya, alumni ITN Malang ini harus bekerja ekstra keras dan njelimet di depan komputer. Apalagi kalau bukan untuk proses finishing teknologi sampling, termasuk identifikasi suara. “Wah rasanya setengah mati pokoknya, jenuh,” jelasnya.

Namun, karena merasa menikmati pekerjaannya, akhirnya Wiwie bisa menyelesaikan proyeknya dengan baik, sesuai harapan. “Saya hanya istirahat untuk makan dan salat aja. Selain itu kerja terus. Kerjanya jlimet, di depan komputer,” terangnya.

Menurutnya, selain berkutat dengan komputer, mengidentifikasi dan memilah bunyi adalah hal yang cukup sulit.

Dia mencontohkan alat musik Sasando. Menurutnya, Sasando memiliki 32 dawai. Dawai-dawai itu harus dibunyikan satu persatu dan direkam satu persatu.

Padahal dalam satu dawai bisa menghasilkan tiga macam suara, jika ditekan dengan tekanan yang berbeda. “Coba kalikan saja. Satu Sasando saya harus rekam dan trial hingga 96 kali. Itu satu alat musik, padahal ada 100 alat musik,” jelasnya.