Sejak Ada Aplikasi Ojek dan Taksi, Penghasilan Angkutan Konvensional Merosot

Polemik Ojek dan Taksi Online di Kota Malang

Ratusan armada terdiri dari angkot dan taksi konvensional terparkir di sekitar Balai Kota Malang. (Muhammad Choirul)
Ratusan armada terdiri dari angkot dan taksi konvensional terparkir di sekitar Balai Kota Malang. (Muhammad Choirul)

MALANGVOICE – Ratusan sopir angkot dan taksi konvensional menolak keberadaan ojek dan taksi berbasis online. Hal ini disebabkan merosotnya penghasilan mereka, sejak ada moda transportasi yang terkoneksi dengan aplikasi.

“Tidak ada transportasi online saja kami sudah kembang-kempis, apalagi sekarang. Bahkan sehari pernah hanya bawa pulang uang Rp 5.000,” kata Saipul, sopir Taksi Mandala, Senin (20/2)

Hal senada diungkapkan Tohir, sopir angkot. “GoJek dan ojek beda, kami tidak mempermasalahkan ojek konvensional karena mereka tidak mengambil segmentasi kami,” katanya.

Sementara itu, menurut dia, moda transportasi berbasis online seperti GoJek, Uber dan Grab, mengambil segmentasi yang sama dengan angkutan umum konvensional. “Segmentasi sama, dan mereka pakai aplikasi, kami tidak. Mereka tarif murah, kami ditentukan,” imbuhnya.

Dia khawatir, jika keberadaan transportasi online dibiarkan, akan terjadi konflik horizontal. Apalagi, beberapa waktu lalu sempat terjadi perusakan angkot bertrayek AL oleh sekelompok oknum beratribut GoJek.

“Berhari-hari sudah ribut sampai ada kaca pecah. Kami dibenturkan pasar yang sama, ini arus bawah sudah panas dan semua sudah tahu itu,” pungkasnya.