Rokok dan Mahasiswa

Rokok dan Mahasiswa
Rokok dan Mahasiswa

Oleh: Jasuli, M.Pd *)

Wacana kenaikan harga rokok dengan segala pro dan kontra, telah memberi angin baru bagi masyarakat, terlebih pada kalangan mahasiswa. Bagi sebagian besar mahasiswa, rokok hampir menjadi konsumsi wajib setelah buku. Hal ini dapat dijumpai di banyak melting pot seperti warung kopi, kantin pojok kampus, dan tempat-tempat umum lainnya di mana mahasiswa menghisap rokok sembari ngobrol santai, berdiskusi atau mengerjakan tugas kuliah.

Fenomena tingginya angka perokok di kalangan mahasiswa ini disinyalir dapat memicu melemahnya kantong mahasiswa yang lebih jauh dapat mengakibatkan terganggunya proses perkuliahan seperti pembayaran uang semester, pengadaan buku, dan kebutuhan-kebutuhan akademik lainnya.

Meski sebenarnya belum ada penelitian yang jelas tentang dampak rokok terhadap prestasi akademik mahasiswa, namun penelitian-penelitian lain yang serupa dapat memberikan petunjuk dan gambaran awal. Seperti yang telah dilakukan oleh Hasbullah Thabrany, Kepala Pusat Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia diketahui bahwa terdapat keterkaitan jumlah perokok dan harga rokok. Lebih jauh, dari hasil studi tersebut terkuak bahwa jika harga rokok naik dua kali lipat, sejumlah perokok akan berhenti mengonsumsi rokok.

Berkaitan dengan harga rokok sebagaimana dilansir kompas.com (19/08/2016), Ade Komarudin, ketua DPR menegaskan persetujuannya akan wacana dinaikkannya harga rokok hingga dua kali lipat dari harga semula. Ade mengatakan, rokok adalah musuh bangsa yang sudah disadari semua orang.

Tapi menyangkut wacana kenaikan tersebut, DPR tentu akan mengkaji secara lebih kritis dan berupaya menyediakan jalan keluar yang solutif terhadap kenaikan harga rokok tersebut.

Harga rokok di Indonesia yang selama ini di bawah Rp. 20.000 dinilai menjadi pemicu tingginya jumlah perokok. Asumsi ini memungkinkan berlaku pada kalangan mahasiswa, sehingga mahasiswa dari kalangan menengah ke bawahpun dengan harga rokok yang relatif terjangkau akan memudahkan mahasiswa membeli dan mengonsumsi rokok. Pun dengan kesimpulan sederhana bahwa jika mahasiswa berhenti merokok, maka konsentrasi akademiknya tidak akan banyak terganggu.

Dasar pemikran ini tak lain hanyalah sebuah upaya dari hasil renungan penulis. Dari pengamatan selama ini, penulis menemukan pergeseran nilai kebutuhan dasar mahasiswa yang harusnya lebih gelisah jika tidak memiliki buku matakuliah dari pada tidak merokok, lebih risau tidak membeli atau mem-foto copy buku atau makalah dari pada berhutang untuk membeli sebatang rokok.

Dari sini, alasan-alasan tak logispun kerap kali muncul, seperti alasan terganggunya konsentrasi belajar tanpa rokok, rokok adalah identitas seorang pemikir, dan bentuk apologi-apologi serupa lainnya.

Ketergantungan berat ini lebih serius akan dapat mengesampingkan hal-hal prinsip, utama dan primer dari pada hal-hal yang bersifat sekunder. Lebih-lebih jika harga rokok sebagaimana diwacanakan benar-benar naik dua kali lipat. Hampir dapat dipastikan kalangan perokok di tingkat mahasiswa akan menguras banyak isi kantong sehingga jatah kiriman orangtua pun akan meningkat.

Maka dari itu, diperlukan antisipasi dan penanganan serius. Meski dibilang masalah sepele, benda kecil berukuran 9 cm ini dalam jangka panjang akan menguras banyak uang tanpa diketahui hasil yang diperoleh. Dapat dibayangkan berapa jumlah rupiah yang hilang sia-sia dan hanya menjadi kepulan asap. Belum lagi kerugian dari sisi medis yang sengaja tidak ditulis pada tulisan singkat ini.

Oleh karena itu, antisipasi pertama, seorang mahasiswa hendaknya bergaul dengan rekan yang tidak merokok. Kedua, belajar menghormati teman yang tidak merokok. Ketiga, mengurangi secara sengaja frekuensi merokok dalam sehari. Keempat, menyisihkan sebagian dari jatah membeli rokok untuk diprioritaskan pada kebutuhan akademik. Kelima, berhenti merokok.

Lima kiat sederhana ini diharapkan mampu mengurangi jumlah perokok di kalangan mahasiswa, sehingga meskipun harga rokok meningkat dua kali lipat, mahasiswa tidak lagi bergantung erat pada rokok. Sebagai agen perubahan, mahasiswa harus mampu mendisiplinkan dirinya sendiri sebelum mendisiplinkan orang lain. Stop smoking!

*) Dosen Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Budi Utomo Malang