Refleksi atas Kondisi Kebebasan

Catatan Nawak

Oleh: Abdul Wahid*

Reformasi sudah berlangsung hampir 20 tahun. Berbagai perubahan banyak dirasakan kelompok masyarakat, terutama pada bidang kebebasan berpendapat. Setiap orang kini tidak lagi takut dipenjarakan gara-gara ucapan yang dianggap menyinggung rezim penguasa. Kebebasan adalah barang mewah pada Orde Baru. Lazim diketahui, kata-kata bisa berakhir pada penjara pada masa itu. Perjuangan meruntuhkan Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari pengandaian menciptakan masyarakat madani yang berbasis pada keterbukaan dan kebebasan; terbuka atas informasi dan bebas berekspresi.

Kini, kita hidup dan menghidupi era pasca-reformasi. Kondisi kebebasan mendapat ruang terbuka yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Akan tetapi, kondisi kebebasan saat ini justru jauh dari pengandaian perjuangan awal masa reformasi. Berbagai masalah seperti hoax dan ujaran kebencian dapat ditemui dengan mudah hampir di seluruh timeline media sosial. Bahkan, agenda publik kadang didasarkan pada peristiwa viral di media sosial meski peristiwa tersebut pada kemudian hari terbukti hoax. Kondisi ini merupakan bagian dari konsekuensi kebebasan yang disalahgunakan untuk kelompok kepentingan ataupun kondisi masyarakat yang belum siap dengan konsekuensi kebebasan dibebankan pada mereka.

Konsekuensi Teknologi yang Terbuka

Teknologi informasi menjadi jembatan antara masyarakat dan dunia sosialnya. Teknologi sekaligus mendorong pada terciptanya ruang-ruang baru sebagai bagian dari gejala kondisi masyarakat yang bebas dan terbuka. Melalui teknologi media sosial misalnya, beragam informasi bisa didapatkan dengan mudah untuk merefleksikan fenomena kontemporer. Media sosial menjadi sarana baru bagi masyarakat untuk membentuk dunia publiknya. Siapapun dapat berkomentar dan mengunggah apapun. Masyarakat tidak hanya menjadi pembaca, tapi sekaligus jadi produsen informasi sekaligus.

Meski demikian, keterbukaan dalam media sosial tidak sejalan dengan kualitas informasi. Berita palsu dapat tumbuh, berkembang, dan tersebar secara luas pada masyarakat. Jika mengembalikan ingatan pada Pemilu 2014 lalu, berbagai media sosial, media partisan, hingga media propaganda murahan ala Tabloid Obor dengan mudah menyebar di masyarakat. Tak hanya itu, baru-baru ini sekelompok orang di bawah naungan Saracen, diduga kuat menawarkan jasa pengelolaan isu secara sistematis melalui media sosial. Isu yang dikelola tidak main-main; politik, agama, hingga suku dan ras kelompok tertentu yang bernada kebencian dan fitnah.

Parahnya, sebagian besar masyarakat kita bahkan percaya pada segala unggahan di media sosial. Hal ini dapat dilihat dari data pengikut Saracen yang berjumlah lebih dari 800 ribu akun di media sosial Facebook. Produksi informasi yang menyesatkan akan melahirkan gambaran menyesatkan di benak masyarakat. Padahal, gambaran ini menjadi dasar tindakan masyarakat atas dunia sosialnya. Jika Saracen mengunggah konten hoax yang diarahkan membenci kelompok lain, kemungkinan masyarakat pengikut akun Saracen akan memiliki pandangan dan keyakinan sama. Keyakinan ini akan bertambah besar jika unggahan konten kebencian ini bagikan banyak pengguna media sosial dan menjadi viral. Keyakinan bersama ini kemungkinan akan dianggap sebagai kenyataan atas dunia.

Kita dapat membayangkan bagaimana kualitas kehidupan publik dapat terbangun dengan baik jika kenyataan didasarkan pada konten yang tidak berdasar sama sekali. Kenyataan yang demikian ini hanya menciptakan lingkungan semu; lingkungan yang tercerabut dari kondisi asalnya. Kondisi ini hanya akan menghasilkan ketidakpastian masyarakat pada dunia. Pada titik ini, media sosial memang mendorong keterbukaan tanpa batas. Seakan-akan teknologi memiliki mekanisme natural untuk mendorong masyarakat bertindak secara bebas.

Selayaknya kondisi kebebasan sudah harus dimaknai masyarakat sebagai jaminan untuk mengembangkan kualitas kehidupan mereka. Masyarakat dituntut lebih cerdas dan tidak melahap informasi dengan cara yang mentah. Tentu masyarakat yang sadar ini tidak lahir dengan sendiri. Berbagai gerakan sosial terkait literasi; baik literasi informasi, teknologi, maupun literasi media dalam arti yang sangat luas, perlu didorong dan digerakkan secara terus menerus. Relasi antar masyarakat yang sadar ini secara tidak langsung akan membawa perubahan yang nyata pada kecerdasan masyarakat dalam menghidupi dunia publiknya. Gerakan bersama ini sekaligus melengkapi upaya pemerintah maupun lembaga non-pemerintah yang sama-sama berupaya menjamin ruang publik yang sehat.

Adapun keberadaan berbagai kelompok yang memiliki latar ideologis berbeda, justru akan melahirkan dialektika ruang publik yang sehat. Prasyaratnya adalah pada informasi di berbagai ruang yang dilahirkan melalui proses komunikasi yang terbuka. Komunikasi terbuka ini tidak menutup pada ruang dialog, memberikan informasi palsu, maupun propaganda melalui konten bernada kebencian. Bukankah dunia ini adalah ruang bersama yang dihidupi masyarakat dari berbagai latar berbeda? Dengan demikian, perbedaan merupakan niscaya pada kehidupan masyarakat manapun.


*Abdul Wahid, bergerak di Center for Critical Society on Media, hidup dan tinggal di Malang. Kini aktif mengajar di Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya.