Quo Vadis Toko Modern Ilegal di Kota Malang

Oleh: Soetopo Dewangga *

GEMURUH suara Pemkot Malang pada detik–detik menjelang akhir 2015 dalam merespon keresahan masyarakat, yang salah satunya disuarakan Aliansi Anti Toko Moderen Illegal Kota Malang, terkait menjamurnya toko moderen yang menurut temuan Aliansi keberadaannya Illegal, direspon gegap gempita oleh Wali Kota Malang, yang antara lain menyampaikan akan inspeksi mendadak (Sidak) dalam bentuk Opsgab (operasi gabungan), dan bagi yang melanggar pasti disanksi, bahkan yang tak berizin di-police line.

Opsgab yang dilaksanakan pada 30 Desember dengan melibatkan beberapa SKPD terkait, telah menemukan beberapa toko moderen yang menurut Kepala BP2T, ada yang tidak bisa menunjukkan surat izin dalam bentuk SIUP maupun HO dan atau beberapa di antaranya SIUP dan HO nya sudah mati. Padahal SIUP dan HO hanyalah salah satu di antara persyaratan lain bagi pemilik usaha toko moderen untuk memperoleh IUTM ( Izin Usaha Toko Moderen ).

Atas temuan itu, ternyata Pemerintah Kota Malang tidak memberi sanksi apapun, bahkan janji memberi tanda police line pun hanya sebagi ungkapan bombastis yang tidak ada dalam tindakan nyata.

Dalam beberapa bulan terakhir, kita semua dibuat tercengang dengan penampilan akrobatik SKPD terkait took modern di Kota Malang, terutama menyangkut terkait tata kelola toko moderen.
Kasus Perda No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pusat Perbelanjaan,
Toko Moderen dan Pemberdayaan Pasar Tradisional, cacat tanggal penandatanganannya oleh Wali Kota Malang, sehingga Perda itu justru menjadi simbol carut-marut dan amburadulnya sistem penegakkan Perda Kota Malang terkait tata kelola toko moderen, disusul dengan Opsgab yang tak berhujung pangkal.

Sementara itu Pemerintah Kota Malang dengan tegasnya melakukan penindakan pada pedagang asongan di Alun–alun, PKL di kawasan Pasar Besar dan terakhir penertiban parkir liar, menjadi pemandangan kontras betapa dewi keadilan dengan mudahnya menebas hak-hak wong cilik secara serampangan, yang sesungguhnya memiliki derajat kesamaan dalam pelanggaran terhadap Peraturan daerah .

Akibatnya, masyarakat menilai secara tidak langsung bahwa penegakkan Perda bukan lagi menjadi bastion of justice (benteng keadilan), melainkan bassinet of justice (keranjang keadilan) yang mudah dininabobokan dan diayun sesuai kehendak penguasa.

Menyitir metode ‘moral reading’ dari Ronald Dworkin, Satjipto Rahardjo (2008) telah mengkonstruksikan negara hukum Indonesia sebagai suatu negara dengan nurani atau negara yang memiliki kepedulian (a state with conscience and compassion). Artinya, common sense dan legal sense yang berselaras dengan legal and moral ethics sejatinya menempati status penting dalam sistem penegakkan hukum di Indonesia.

Maka dari sudut subyeknya, penguasa harus membuka hati dan pikirannya terhadap perkembangan masyarakat, berdasar ketentuan hukum positif yang berlaku, agar dapat terhindar dari jebakan bahwa hukum tanpa ketegasan justru seringkali menghalangi lahirnya keadilan itu sendiri.

Berdasar data yang diungkap Kepala BP2T Kota Malang, bahwa jumlah toko moderen sebanyak 265 unit, terdiri dari 223 sudah diverifikasi dan 42 dimungkinkan tidak berizin, serta dinyatakan semuanya illegal oleh Aliansi, maka titik-titik kanker sudah diketemukan, dan melakukan operasi caesar dengan pisau yang tepat layak segera dilakukan, serta langkah seanjutnya adalah menata ulang sesuai peraturan perundangan berlaku.

Seyogyanya momentum ini dimanfaatkan sebagai renaissance ( kebangkitan ) nurani Pemkot Malang, sebagai wujud nyata komitmen dan kemauan politik dari Pemkot Malang dan DPRD. Sudah barang tentu masyarakat amat merindukan teladan hukum, sehingga prasyarat kejujuran, ketegasan, dan keberanian dalam menegakkan Perda dengan moral dan nurani, menjadi syarat minimal dari pencarian keadilan bagi masayarakat.

Sebaliknya, jika terbukti atau setidak-tidaknya terindikasi adanya praktik penyimpangan atas Perda di atas kekuasaan manapun, maka sudah selayaknya segera dibersihkan. Dalam konteks ini, ibarat ikan membusuk mulai dari kepala hingga ke ekor, maka tindakan yang pantas dilakukan adalah dengan memotong dan membuangnya (Imperium, 2007).

Masalah pelik dihadapi, ketika nurani seseorang tertutup kabut tebal akibat ‘keterlanjurannya’ terlibat atas sandiwara Prosedur dan Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi). Satu hal yang tidak kalah pentingnya, bahwa carut marut tata kelola toko moderen di Kota Malang telah jatuh di meja publik melalui pemberitaan media massa, sehingga tabir kelam penegakkan Perda Toko Moderen di Kota Malang dapat tersingkap.

Quo Vadis (ke arah mana) tata kelola toko moderen di Kota Malang masih membutuhkan perjuangan dalam menegakkan keadilan berdasar moralitas dan hati nurani yang tulus memang terasa berat dan tiada henti. Akan tetapi, keyakinan atas pencapaiannya tidak boleh pernah goyah atau redup sedikitpun.

Tentunya di masa yang akan datang kita berharap, tak perlu lagi kita mengais-ngais untuk sekedar mencari sebongkah nurani di tengah-tengah ilalang keadilan.

Sesuai kajian yang dilakukan Aliansi Anti Toko Moderen Illegal Kota Malang, menujukkan bahwa operasional toko modern di Kota Malang adalah bentuk nyata pembiaran praktek usaha perdagangan ilegal oleh Pemerintah Kota Malang, terbukti tidak satupun tempat usaha toko modern yang dialasi izin IUTM ( Izin Usaha Toko Moderen ) sebagaimana disyaratkan dalam pasal 25 ayat 1 Perda No 8 Tahun 2010.

*Soetopo Dewangga, Koordinator Aliansi Anti Toko Moderen Illegal Kota Malang.