Perempuan Jadi Dalih Baru Koruptor Membela Diri

Bincang Riset dalam Ilmu Komunikasi

Dr Sunarto, peneliti bidang gender dan media saat memberikan kuliah tamu di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya. (Muhammad Choirul)
Dr Sunarto, peneliti bidang gender dan media saat memberikan kuliah tamu di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya. (Muhammad Choirul)

MALANGVOICE – Berbagai kasus yang sedang diungkap KPK akhir-akhir ini kerap melibatkan sejumlah nama besar dari berbagai institusi. Menariknya, penindakan beragam kasus tidak sejalan dengan penurunan jumlah korupsi di berbagai tempat, bahkan korupsi dilakukan dengan cara dan alasan lebih canggih.

“Dalam kasus korupsi, dijumpai argumen bahwa tertuduh koruptor di pengadilan menjadikan kepemilikan wanita sama dengan kepemilikan harta. Artinya kalau mereka korupsi, jumlah harta dan wanita mereka akan bertambah,” demikian disampaikan Dr Sunarto, peneliti di bidang gender dan media saat memberikan kuliah tamu di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya (UB), Selasa (14/3) sore tadi.

Selain permasalahan sistem, korupsi juga terjadi karena sudut pandang koruptor yang memaknai korupsi secara berbeda. Menurut Sunarto, saat ini kebanyakan koruptor berusaha membela diri di pengadilan.

Mereka berusaha mempertanyakan pada hakim terkait tren perbandingan korupsi dengan kepemilikan jumlah perempuan. Sunarto menekankan, argumen koruptor ini digunakan untuk memengaruhi hakim sebagai dalih mereka tidak bersalah.

Padahal, permasalahan korupsi tidak sesederhana kepemilikan harta dan jumlah perempuan melimpah. Lebih dari itu, korupsi juga terkait bagaimana sistem dibangun untuk menguntungkan individu dan kelompok, sebagaimana dalam kasus E-KTP.

“Argumen koruptor yang menjadikan perempuan sebagai bagian dari bukti material tindakan korupsi, merupakan argumen yang berusaha menjauhkan inti permasalahan korupsi,” kata Dekan FISIP Universitas Diponegoro (Undip) ini.

Selain itu, argumen koruptor ini sekaligus membuktikan keberadaan perempuan masih terpinggirkan secara sosial. “Jika demikian, perempuan menjadi korban kekerasan simbolis secara tidak langsung,” pungkasnya.