Munir Mulkhan: Muhammadiyah Bekerja untuk Kemanusiaan

Munir Mulkhan: Muhammadiyah Bekerja untuk Kemanusiaan
Munir Mulkhan: Muhammadiyah Bekerja untuk Kemanusiaan

MALANGVOICE-Cendikiawan Prof Dr Abdul Munir Mulkhan menilai, saat ini secara kultural umat Islam Indonesia adalah pengikut Muhammadiyah. Hal itu dicirikan dengan pemikiran yang modern dan berkemajuan, semisal tak ada lagi yang menolak sekolah dan tak ada lagi yang dengan gencar mengkritik shalat id di lapangan.

Munir berharap kalangan muda Muhammadiyah memanfaatkan situasi itu dengan terus mengembangkan dakwah kultural, sehingga bisa lebih dekat dengan masyarakat. “Ini perlu jadi perhatian, bahwa Muhammadiyah tidak bekerja untuk dirinya sendiri, tapi untuk publik,” paparnya, saat mengisi kegiatan Tadarus Pemikiran Islam kerjasama Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), kemarin.

Karena bekerja untuk publik, maka Muhammadiyah dinilai sebagai organisasi yang mengabdi pada kemanusiaan. Hal itu, menurut Munir, juga selaras dengan asas Pembina Kesejahteraan Umat (PKU) sebagai salah satu fondasi amal usaha Muhammadiyah, bahwa Muhammadiyah dalam melaksanakan proses pendidikan dan pelayanan kesehatan, tidak pernah memaksakan seseorang untuk menjadi kadernya.

“Bukan agar yang tidak Muslim menjadi Islam, sama sekali bukan. Agar yang Muslim jadi Muhamamdiyah, juga bukan. Muhammadiyah melakukan semua itu semata-mata demi manusia. Ini bukan pernyataan saya. Tapi itu tertulis jelas dalam PKU,” tegas Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

Sementara itu Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Syamsul Hidayat MA mengatakan, di tengah dinamisasi dan progresivitas gerakan Muhammadiyah, keragaman pemikiran adalah hal yang tak terelakkan. Namun, lanjut Syamsul, di dalam menyikapi keragaman di lingkup internalnya, Muhamamdi yah berbeda sekali dengan gerakan purifikasi (pemurnian) lainnya. “Kalau gerakan purifikasi yang lain, sedikit berbeda pendapat saja langsung pecah,” ujarnya.

Syamsul mencontohkan gerakan Salafi di Indonesia. Ia membagi Salafi di Indonesia setidaknya terdapat lima macam. Dari kesemuanya itu, menurut Syamsul, meski menggunakan kitab dan rujukan yang sama, tetap terjadi perbedaan pendapat, yang lantas mengarah pada perpecahan.

Lain hal dengan Muhammadiyah yang menurut Syamsul melihat perbedaan di internalnya sebagai sebuah kekayaan. “Untuk menghadapinya, kita harus penuh kesabaran memang. Tapi kalau disebut di dalam Muhammadiyah ada yang mengharamkan filsafat, itu hanya sebagian kecil saja. Tidak banyak,” tandas Ketua Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Universitas Muhammadiyah Surakarta ini.