Mengenal Daya Juang Sebilah Keris

Oleh: Cokro Wibowo Sumarsono *

Sebagai senjata tajam keris mengandung banyak unsur falsafah kejuangan yang tersembunyi dalam wadahnya (warangka). Sebagai peninggalan bersejarah keris merupakan penanda tingginya peradaban pada masa pembuatannya (tangguh). Sebagai mahakarya, keris adalah bukti nyata derajat teknologi metalurgi berupa seni tempa logam terbaik di muka bumi.

Menggabungkan berbagai unsur logam besi, baja, titanium, timah putih, kuningan, seng, nikel dan lainnya dalam tungku pembakaran serta denting palu godam para empu pembuatnya. Sebagai barang seni keris memuat ribuan pola ragam hias dan desain asli yang menguatkan daya pandang visual.

Dalam dunia keprajuritan (kepahlawanan) keris adalah lambang kekuatan dan keteguhan jiwa yang penuh gemblengan dan tempaan. Sebuah logam tempa berpamor yang mengisyaratkan daya tahan dan ketangguhan pemiliknya (katuranggan).

Mengandung strategi perang yang luwes dengan mengalahkan lawan tanding tanpa sedikitpun merendahkan martabatnya (ngalahne tanpo ngasorake). Berbalik dengan kondisi mutakhir dimana mengalahkan lawan dengan mematikan karakternya sekaligus, tumpas tapis tanpa sisa.

Lamanya proses pembuatan sebilah keris yang ditempa oleh palu godam ribuan kali diiringi dengan panjatan doa dan tirakat (riyadloh) para empu melambangkan proses kesabaran dalam perjuangan yang telah turun-temurun diwariskan. Menyiratkan kepada kita untuk memperkuat kesabaran dan nafas panjang, bergerak dalam pola perjuangan panjang yang jelas dan tidak reaksioner.

Keris tak bisa diduplikasi secara massal dan cepat, selalu terlindungi oleh kesatuan anatominya sendiri tanpa pertolongan hak paten ataupun hak atas kekayaan intelektual sekalipun. Belum pernah ada duplikasi keris sesempurna barang aslinya.

Dalam sebilah keris terdapat anatomi (ricikan) yang menggambarkan bermacam-macam bentuk yang manunggal mewujud dalam satu kesatuan. Mulai dari pesi, gonjo, gunungan, buntut mimi, greneng, thingil, ri pandhan, sraweyan, ron dha, pejetan, bungkul, lambe gajah, gandik, jalen, kembang kacang, janur, tikel alis, sogokan, pudhak sategal, landhep, gusen, poyuhan, gula milir, kruwigan dan adha-adha. Semua berbeda-beda bentuk (bhinneka) namun menyatu dalam satu karakter yang harmonis (tunggal) dan manunggal dalam satu daya juang (ika).

Perbedaan yang manunggal itu memang indah, melahirkan sikap dan tingkah laku yang senantiasa dinamis. Seindah harapan para empu pembuatnya dalam tiap doa yang dipanjatkan. Seindah menyatunya segenap suku-suku bangsa dan puak-puak asli wangsa Nusantara yang bertebaran di atas zamrud katulistiwa.

Sebagai senjata pamungkas, keris hanya dikeluarkan dari warangkanya pada situasi yang mendesak, yakni pada akhir duel pertarungan antara hidup atau mati, setelah senjata-senjata lainnya terlepas dari genggaman. Keris dipertahankan mati-matian agar jiwa tak melayang akibat tikaman lawan tanding.

Bentuk keris yang meliuk tajam, berkelok-kelok (luk) bagai gelombang mengisyaratkan serangan bergelombang yang tak kenal henti. Luk-luk dalam bilahnya melambangkan keluwesan dalam bertindak, namun tetap tegas dalam berprinsip seperti kerasnya bilahan logam keris yang tegak mengacung.

Doktrin perjuangan yang mengatakan konsisten dalam ideologi, kokoh dalam strategi namun fleksibel dalam taktik ternyata sudah digambarkan oleh bilah-bilah keris. Ketajaman di kanan kiri bilah keris yang mengerucut pada ketajaman puncak adalah gambaran dari perjalanan yang berliku-liku dan penuh tantangan, naik turun seperti gelombang demi pencapaian jatidiri dan olah spiritual paripurna.

Dan dengan senjata ini para patriot siap sedia berjuang mempertahankan tiap jengkal bumi pertiwinya. Sadumuk bathuk sanyari bhumi, tak belani taker pati.

Salam tosan aji.

Glugu Tinatar, Landungsari-Malang.

*Cokro Wibowo Sumarsono, Mantan Sekretaris Jenedral Presidium GMNI dan Ketua DPP Gerakan Pemuda Desa Mandiri (Garda Sandi).