Masa Depan Tak Cerah Jika Hanya Mengandalkan Partai Politik

MALANGVOICE – Dinamika politik dan pemikiran Muhammadiyah dalam setahun terakhir menjadi topik kunci pada kegiatan Muhammadiyah Update dan Refleksi Akhir Tahun yang diadakan Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), hari ini, di Aula Masjid AR Fachruddin UMM, dengan tema “Muhammadiyah dalam Dinamika Politik dan Pemikiran Kontemporer di Indonesia”.

Hadir sejumlah pembicara, di antaranya Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Dr Saad Ibrahim MA, sosiolog Muhammadiyah, Dr Zuly Qodir MSi, dosen Universitas Negeri Surabaya (UNS), Mohammad Rokib MHum MA, serta Kepala PSIF UMM Dr Pradana Boy MA.

Saad Ibrahim mengatakan, Muhammadiyah sebagai bagian dari Islam harus memberi titik tekan bahwa politik mestinya tak hanya mengandalkan estetika, tapi juga etika dan teologi. Saad mencontohkan kasus Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto yang mengandung unsur permainan politik yang indah dan estetis, namun tidak mengindahkan etika dan teologi.

“Setya Novanto bisa bebas dari persidangan MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan), karena ia mengundurkan diri. Ia kemudian menjadi ketua fraksi. Ini kan permainan yang indah sekali. Ini estetis, tapi sama sekali tidak dalam kerangka etis dan teologis,” papar Saad yang juga pengajar di Program Pascasarjana UMM ini.

Bagi Saad, itulah yang terjadi bila terlampau menyandarkan nasib pada partai-partai politik. “Masa depan kita tidak akan cerah jika hanya mengandalkan partai politik, karena partai tidak dilandasi dimensi teologis.”

Karena itu, sambungnya, Muhammadiyah yang berbasis teologis harus turut mewujudkan mimpi bangsa ini, agar kekuasaan bisa menjadi alat untuk menolong kesengsaraan umum. Muhammadiyah perlu mencontoh mimpi pemikir kenamaan Muslim, Iqbal, yang bermimpi agar Pakistan menjadi negara independen. Akhirnya, kata Saad, mimpinya itu diwujudkan oleh Ali Jinnah, di mana Pakistan menjadi negara independen yang terpisah dari India.

Sementara Zuly Qodir menilai, sudah saatnya Muhammadiyah menjadi penentu, tidak hanya menjadi pembantu. “Selama ini Muhammadiyah selalu menjadi pembantu negara. Kita mendirikan ribuan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan. Jangan sampai kita terus-terusan jadi pembantu, saatnya jadi penentu,” kata dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu.

Menurut Zuly, wibawa politik Muhammadiyah sangat lemah, bahkan lebih lemah dari partai-partai kecil. Hal itu, kata Zuly, lantaran adanya asumsi bahwa tugas utama Muhammadiyah mengurusi amal usaha, sedangkan politik bukan amal usaha.

“Bagi saya, politik itu juga amal usaha. Masuk partai politik itu sama mulianya dengan mengurusi sekolah, rumah sakit dan panti asuhan. Yang terpenting politiknya berkeadaban dan tidak sektarian,” papar Zuly.

Selama ini doktrin high-politics (politik adiluhung) Muhammadiyah identik dengan berpolitik di luar jalur partai politik. “Jadi ada asumsi, yang namanya high-politics itu kalau di luar partai, kalau masuk partai berarti low-politics. Padahal itu bukan soal masuk atau tidak masuk partai, tapi soal berkeadaban atau tidak,” tegas penulis buku ‘Marwah Politik Muhammadiyah’ ini.

Kegiatan Muhammadiyah Update ini, menurut Kepala PSIF, Pradana Boy, memang diniatkan untuk mengkaji perkembangan mutakhir di lingkungan Muhammadiyah. Selain kegiatan itu, PSIF juga terus menggiatkan kegiatan-kegiatan lainnya sebagai penggerak ruh keilmuan di UMM, semisal bedah disertasi yang diadakan reguler setiap bulannya.