Gerhana; Puisi-puisi Saiful Bahri

Gerhana

Semesta tercipta musim rindu tanpa rembulan
Jejak kaki ini –teriak lantang menyusuri jalan-jalan

Meringkus riang setenang bunga sajak terang
Menghindari remang sedalam gelora sabda karang

Ia sunyi, sepi tak bertepi. gerhana menular kenangan penuh khianat
Sinar merambat hitam pekat, tertututup pagar-pagar berkeringat penat

Aku ingin engkau disini, meniti angin sedingin kelam
Temani hasrat, temani mataku tenggelam lelap disudut malam.

Bungduwak, 2017

Akulah Laki-Laki Petualang

Tubuhku
Berlayar menyusuri lautan
Rinai melintasi hutan-hutan
Akulah laki-laki petualang
Susut pada tubir jalang itu
Menukik silau ambang bisu.

Akulah laki-laki petualang
Mengakar dilembah matamu,
Hinggap terbayang-bayang
Kuinjak-injak rumput ilalang
Kucabut, kutendang, lalu kubuang

Hanya serpihan ranum senyummu
Yang senantiasa melekat dalam ilusi
Hingga aku menulis bibirmu menjadi puisi

Sumenep, Agustus 2017.

Bulan Meraung Enggan Kusanjung

Wajah ranum mengajakku senyum ” ikut aku menikmati pameran-pameran kelabu”
Ia kedinginan –memikul kenangan –yang sirna ditelan malam penuh debu-debu rindu
Lampu-lampu berpijar, orang-orang rinai menaburkan kilau senyuman
Ya, di pameran itulah tempatku bercengkrama dengan bulan
Sejenak aku bertanya, memastikan apa yang ia iginkan
Kenapa tubuhmu? Kenapa engkau terhimpit malu dipundi-pundi pohon
Kuajak bulan berjalan. Takut tersesat” katanya.
Kuajak bulan bersemedi. “Takut kelaparan” jawabnya.
Mestinya, rembulan menemaniku beli baju dan kerudung
Pameran apaan ini? Sementara bulan meraung bingung enggan kusanjung

Gapura, 10 September 2017

Bising Rindu

Malam ini, cahaya remang bermandikan nada-nada syahdu.
malam ini pula –mulai kudengar rajutan suara bising rindu,
sehabis senja ditelan waktu. Apa engkau tidak tau ?

Aku tersaruk-saruk, berteriak-teriak, melompat-lompat,
mengintai nafasku terjerat erat ditubuh detak suara angin yang membisu.
menyaksikan alunan-alunan lagu seirama rindu didadaku.

Malam ini, mataku terasa perih menyaksikan alunan lagu rindu.
Sementara perihal waktu takkan syahdu, pun rindu takkan melaju
Jikalau dekap tanpa cumbu. Lalu kapan bait-bait rindu ada senyummu.

Mataku lindap menjilat semesta –menggais tanah penuh aroma
Hingga kutemukan bising rindu diterpa hujan tak bermakna.

Malam ini, jejak jarak merambat cepat, menuju pulau-pulau
tempat dimana burung-burung hidup riang bergandengan tangan.
Sesaat aku ingin seperti burung, terbang melintasi gunung tanpa kabung.

:Kerinduan akan tumbuh kedamaian, berbunga mekar dilamar suara keindahan.
Tunggu waktu yang menentukan, hinggap pada kerlap-kerlip cahaya pelaminan.

Bungduwak, 2017

Nasionalisme

Sunrise kali ini tercipta musim hujan yang ‘kan merayuku disudut waktu
Sungai-sungai tersanjung hiruk-pikuk sejuk, tetap saja mengalir tiada semu
Ia sajakku yang menjejak cerita penuh cinta –melekat erat ditubuh garuda; hingga menyusut meliut-liut direlung sukma dalam jiwa.

Sunsite tiba-tiba memelukku, menciumku dalam kecupan bisu.
Sesaat beranjak hilang, hinggap di pohon-pohon telanjang petang,
Aku sangat cinta Indonesia raya semesta raga, tempatku menulis puisi-puisi jiwa
Menukik senja, meringkus kawah pada kilauan Bhenika Tunggal Ika
Oh Pancasila, aku cinta ladang-ladang luas, seluas tanah Indonesia raya.

Seperti kulihat panorama-panorama, sampai kiamatpun jiwa ini takkan ada cinta dusta,
antara aku dan Indonesia… antara aku dan Indonesia… antara aku dan Indonesia, kucinta Indonesia.

Sumenep, 2017

Elegi Embun di Ubun Pagi

Lingsir waktu masih sanggup mengalirkan sejuta sukma kilauan embun, yang senantiasa hinggap dan tertimbun diubun-ubun.
Kudengar rinai burung-burung bernyanyi –pertanda suasana t’lah terurai irama pagi. Kerap menyerap pada jalan-jalan sawah, merubah remang pada gigil-gigil basah.
:Aku pasrah melawan sisa-sisa kecewa; tanpa berurusan dengan rasa sesadis cinta

Sumenep, 2017


*SAIFUL BAHRI, Penulis Lahir di Sumenep-Madura, Pada Tanggal O5 Februari 1995. Selain menulis, ia juga seorang aktivis di kajian sastra, dan “Teater Kosong Bungduwak”, Perkumpulan dispensasi Gat’s (Gapura Timur Solidarity), Fok@da (Forum komunikasi alumni Al-Huda), sekaligus perkumpulan (Pemuda Purnama). Disela-sela kesibukannya ia belajar menulis Puisi, Cerpen, Essai, Opini, dll. Puisinya antara lain dimuat di Riau Pos (2017), Bangka Pos (2017), Palembang Ekspres (2017), Radar Madura (2017), Radar Surabaya (2017). Radar Jember (2017), Radar Banyuwangi (2017), Radar Bojonegoro 2017 Kedaulatan Rakyat (2017), dan Solo Pos (2017)