Geger Genjik Ibukota…

Oleh: Cokro Wibowo Sumarsono*

Hingar bingar pemilihan Adipati baru Kotapraja Indraprasta terdengar di seantero jagad pewayangan. Suaranya membahana masuk ke desa-desa dan kota-kota di wilayah negeri Amarta. Menerabas rimba raya kediaman para raksasa, ditya dan bhuta. Bahkan beritanya telah menjadi perbincangan serius para punakawan di desa Karang Kadhempel, nun jauh dari pusat Ibukota negeri Amarta, Indraprasta.

Perbincangan tersebut mengarah pada perpecahan tiga kubu pendukung, kubu Cepot, kubu Mbilung dan kubu Cenguris. Cepot mendukung Raden Antareja, perwira muda Angkatan Darat Amarta. Dengan argumentasi bahwa Antareja adalah sosok kuat masa depan Amarta. Ibukota akan aman jika perwira Angkatan Darat yang memimpin. Antareja merupakan simbol ‘kekuatan’.

Mbilung berpendapat lain, ibukota harus dipimpin sosok pemberani yang menerabas standar birokrasi, agar pelayanan masyarakat tidak berbelit. Pilihan itu jatuh pada Raden Wisanggeni, satriya muda yang tak bisa berbahasa halus. Selalu pakai bahasa ngoko ke siapapun, bahkan kepada para Dewa sekalipun. Wisanggeni merupakan simbol ‘keberanian’.

Lain Cepot, lain Mbilung, lain pula dengan Cenguris. Dia menginginkan figur pendidik guna mencerdaskan warga ibukota. Pilihan itu jatuh pada Raden Abimanyu, intelektual muda yang menguasai ilmu sastra. Abimanyu merupakan simbol ‘kecerdasan’.

Diskusi kecil di warung Mbok Cangik tersebut makin lama makin seru, makin lama makin panas dan sensitif. Menyinggung asal usul masing-masing kandidat Adipati, tak terkecuali program berbusa-busa para kandidat. Menyita perhatian warga desa di sekitarnya yang menyebabkan warung kopi di pinggir Pasar Wage itu makin ramai dan semakin meluber pengunjungnya.

Pak Tani melemparkan doran gagang paculnya, memilih mengikuti diskusi yang makin memanas. Bakul-bakul di pasar memilih menutup dagangannya, guna ikut menyimak diskusi yang makin mengarah ke debat kusir tersebut. Bocah-bocah angon bahkan rela meninggalkan kambing, domba, kerbau dan sapinya merumput sendiri. Agar tak ketinggalan info terkini percaturan politik Ibukota negeri.

Hari itu denyut nadi ekonomi desa Karang Kadhempel benar-benar terhenti, berlanjut hingga hari-hari berikutnya. Sawah ladang tak terurus, pasar ilang kumandhange, kebo sapi mulih nyang kandange dewe-dewe. Karena semua warga memilih mengikuti diskusi di warung Mbok Cangik demi belajar menjadi politisi, meskipun ‘politisi kampung’.

Hingga suatu saat datanglah si Bagong dari perjalan panjangnya ke Ibukota.
Bagong: “Dulur-dulur, saya kemarin baru saja ngopi bareng dengan Raden Antareja, Raden Wisanggeni dan Raden Abimanyu. Ternyata mereka semua itu lucu-lucu lho, jauh lebih lucu dari Cepot, Mbilung ataupun Cenguris”.

Mbilung: “Ah…masak sih Gong, jangan mbanyol kamu. Kita ini sudah beberapa minggu gontok-gontokan untuk mendukung jago kita masing-masing. Bicaralah yang lebih jelas lagi Gong, biar kita tahu perkembangan aktual di ibukota”.

Bagong: “Serius, saya kemarin baru nonton kethoprak dengan mereka bertiga, mereka santai-santai aja kok. Kenapa kalian yang malah ribut ?
Memangnya sosok yang terpilih jadi Adipati di Indraprasta akan berdampak pada desa kita?
Kita ini wong ndeso, orang kampung. Kita urus sawah ladang kita biar jagung pohungnya ledhung-ledhung, lombok terongnya robyong-robyong dan uwi gembilinya sakkendhi-kendhi. Urusan ibukota biar dirampungkan orang-orang sana. Kalau semua orang desa ngurusi ibukota, desa akan terbengkalai, gak bisa panen nanti. Kalau panen gagal orang kota akan kelaparan, wong beras dan dagingnya dari sampean semua”.

Cenguris: “Lha terus kita harus bagaimana Gong ?”

Bagong: “Ya harus kita balik. Jangan seantero negeri Amarta heboh gara-gara pencalonan tiga orang penggemar kethoprak itu. Jangan sampai persatuan kita koyak gara-gara demokrasi yang kebablasan. Sudah mengarah ke pasar bebas ini, semua sebebas-bebasnya menghasut, mencerca, mengolok dan menjegal. Harus kita lawan. Kita ini satu bangsa lho, satu sejarah perjuangan. Desa harus mandiri, tak tergantung pada ibukota. Kedaulatan pangan harus jadi panglima, jangan isu pasar bebas yang jadi panglima. Pergunakan waktu sebaik mungkin untuk bekerja dan berdoa, didiklah anakmu, jangan ngerumpi saja.

Mbilung: “Iya Gong. Gara-gara dukung mendukung yang berlebihan, saya kemarin gak diundang saat Cenguris hajatan selametan. Kohesi sosial kita jadi renggang.

Bagong: “Di sinilah kontradiksi pokoknya, di sinilah perbedaan mendasar antara demokrasi perwakilan yang menjadikan musyawarah sebagai jalan keluar dengan demokrasi pasar bebas yang super bebas. Semua tidak diselesaikan dengan musyawarah guna mencapai mufakat, namun sebebas-bebasnya menyerang orang, mencokot kawan lawan, menghinakan tokoh panutan dan lain-lain. Jauh dari kata ‘beradab’, jauh dari sesanti memayu hayuning bawana.
Wis bubar…bubaarrr…ayo macul…ayo nandur…!

Akhirnya kesadaran menyeruak di pikiran warga desa Karang Kadhempel. Semua kembali ke sawah dan pategalan, kembali mengurus ternak di kandang dan ikan di blumbang.

Cokro Wibowo Sumarsono
Cokro Wibowo Sumarsono

*) Mantan Sekretaris Jenedral Presidium GMNI dan Ketua DPP Gerakan Pemuda Desa Mandiri (Garda Sandi)