Gayus Lumbuun: Tak Semua Hukuman Bisa Diganti Kerja Sosial

Gayus Lumbuun

MALANGVOICE – Sanksi kerja sosial merupakan pidana alternatif yang mampu mengurai masalah kelebihan kapasitas warga binaan di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Hal ini disampaikan Hakim Mahkamah Agung RI, Gayus Lumbuun pada seminar nasional yang diselenggarakan Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), hari ini.

Dalam seminar bertajuk “Rekonstruksi Konsep Pembinaan Narapidana Berbasis Kerja Sosial” ini Gayus mengatakan, sanksi kerja sosial merupakan upaya menjunjung prinsip restorative justice. Dengan prinsip tersebut, ia menjelaskan, kepentingan korban dan masyarakat juga dipertimbangkan.

“Memaksakan narapidana menghuni Lapas yang sudah dalam keadaan penuh sesak kadang justru membuat narapidana terjerumus dalam bentuk kejahatan baru,” terangnya.

Gayus2Gayus menerangkan, tidak semua hukuman bisa digantikan dengan pidana kerja sosial. Berdasarkan RUU KUHP, hukuman kerja sosial merupakan alternatif terakhir bagi hakim setelah mempertimbangkan jenis pidana lain.

“Syarat untuk untuk menjatuhkan hukuman kerja sosial pun tidak gampang, setidaknya hakim wajib mempertimbangkan pengakuan bersalah terdakwa,” imbuhnya.

Berdasarkan Pasal 79 ayat 1 RUU KUHP sudah tegas menyebut batasan untuk bisa dikenakan sanksi kerja sosial. Dalam pasal tersebut dijelaskan jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari enam bulan.

Senada dengan Gayus, Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham, I Wayan Kusmiantha Dusak sepakat jika pidana kerja sosial dijadikan alternatif dalam penegakan hukum di Indonesia.

Ia tidak menampik jika berlebihnya muatan di sebuah Lapas memicu terjadinya tindak kejahatan di dalamnya. “Kerja sosial bisa mengurangi dampak negatif pemenjaraan dan meminimalisir tindak kejahatan di Lapas,” paparnya.

Wayan memaparkan ada dua sanksi pidana kerja sosial yang pelaksanaanya diawasi oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) yakni konvensional dan non-konvensional.

“Konvensional contohnya seperti narapidana bekerja menyapu jalan tanpa digaji, kalau yang non-konvensional itu seperti narapidana mantan lawyer misalnya, bisa bekerja di firma hukum dengan digaji, tapi gajinya untuk PHBP negara,” terangnya.

Kegiatan seminar dihadiri oleh Dekan Fakultas Hukum (FH) di 142 perguruan tinggi swasta yang tergabung di APPTHI. Ketua Umum APPTHI, Laksanto Utomo mengatakan, semnas ini diselenggarakan atas keprihatinan forum dekan seluruh Indonesia dengan MA.

“Kami ingin mengkoreksi lembaga yang agung ini, untuk mengembalikan akuntabilitasnya,” paparnya.

Salah satu bentuk keprihatinan tersebut dituangkan dalam buku yang ditulis APPTHI yang berjudul “Akuntabilitas Mahkamah Agung”. Laksanto menerangkan, buku tersebut nantinya akan digunakan APPTHI untuk disampaikan ke forum yang lebih tinggi.

“Kami sampaikan ke lembaga-lembaga nasional yang memiliki keinginan untuk membersihkan lembaga hukum agar lebih kredibel,” ungkapnya.

Sementara itu, Dekan FH UMM, Sulardi yang memprakarsai agenda ini berharap, APPTHI mampu mendorong terbentuknya lembaga eksaminasi putusan MA dan menjadikan hakim di Indonesia lebih berkualitas.

“Nantinya lembaga ini akan mengeksaminasi putusan-putusan hakim yang sudah ada, kemudian nanti akan terlihat apakah MA kredibel atau tidak,” ujarnya.

Hadir juga dalam kegiatan ini Wakil Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syaiful Bakhri, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Prodi Ilmu Hukum Indonesia (APPSIHI), Jawade Hafidz, Ketua Umum Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi (LAM-PT) Hukum Indonesia, Ade Saptomo, dan Ketua Umum Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (APHI), Ahmad Sudiro dan Pakar Hukum Pidana FH UMM, Sidiq Sunaryo.