Garis Tepi; Puisi-puisi Ana Widiawati

Ilustrasi. (Anja Arowana)

Garis Tepi

Dari garis tepi
pada kertas-kertas yang kucuri
dari seorang penyair disesap sunyi
kutulis bebait sepi
bersama pagi menggigil yang berkongsi
dengan angin bulan Juni
kemudian lebur
oleh rindu yang diam-diam
kuselipkan di cuping telingamu
seusai persentuhan kita yang menggemparkan
dan sebelum kau gugur
bersama dedaunan yang limbung

Banyuwangi, 2 Agustus 2017

Meja Makan

Berpijak
pada jejak-jejak
yang tertinggal di meja makan bersama kerak-kerak
ingatan yang terkuak
ketika remah-remah roti berserakan di piringmu yang retak
dan piringku sesak
oleh nasi yang kautanak
secangkir kopi kehilangan seduh hangat
dan secangkir teh menguar coklat tak nikmat
dan kita dicincang-cincang waktu yang berdetak
kemudian meja makan itu menjelma perseteruan diam-diam
kita bungkam
di meja makan yang suram

Malang, 20 September 2017

Kunang-Kunang di Matamu

“Kelak, kau akan tahu.”
begitu kalimat ibu
yang merayap di malam-malam senyap
yang merangkak di pagi-pagi kedap

“Kau akan bertemu wajah kehidupan yang utuh.”
begitu tutur ibu
ketika kutuang resah dan keluh
di pangkuannya
luruh

“Kau akan memaknai segala gurat dan kerut.”
begitu kata ibu
tentang nestapa-nestapa
dan masa
yang berguliran layaknya air mata
dari muara bahagia atau
luka

“Kau akan menemukan sabda-sabda tak bertuan.”
begitu ungkap ibu
menyinggung sabda-sabda yang kehilangan
tuan-tuannya
sabda-sabda itu berserakan
diabaikan
dihinakan
dikutuk-kutuk
banyak mulut
“Mungkin akan gelap, sesak, dan kau muak.”
begitu lirih ibu
aku semakin mengerat
menyusup dalam ke ketiaknya
keresahan itu mendesak-desak
diam-diam ketakutan memuncak

“Tetapi kulihat masih ada kunang-kunang di matamu.”
pungkas ibu
seakan semilir angin di semusim kering
merinding
dan kecamuk itu menyingsing.

Malang 20 September 2017

Jendela

Meja, kursi, buku
temaram lampu
dan mataku memujamu
dari sela-sela tirai biru
dari jendela
yang akan runtuh
dan engkau masih berdiri di depan pintu
dengan setangkup bunga layu, wajah sendu,
dan menunggu
suara tapak sepatu
atau ketukan pintu
dan aku tetap memujamu
dari jendela
yang tak nampak di matamu

Malang, 20 September 2017

Puisi-Puisi di Rumah

Kita menghabiskan puisi-puisi di rumah
menyerap ruhnya sambil berdekapan mesra
diselingi cekikik-cekikik manja
melupa pada meja makan yang jarang mengepulkan
asap nasi, lodeh, kopi, atau aroma sambal teri
mendadak kita pura-pura
dapur kita baik-baik saja
bersandiwara rumah kita terang oleh bohlam-bohlam lampu
lima belas ribuan
berlagak seolah kamar kita empuk dan hangat

Kita menamatkan berbait puisi-puisi di rumah
menawar getir hari ini dan esok hari
dengan menyesap majas-majas dan imaji-imaji
sebab tiada lagi ruang untuk menuangkan sedih
di rumah yang hanya cukup untuk berpuisi ini

Kita pun melahirkan puisi-puisi di rumah
dari sentuhan-sentuhan yang sedikit hambar dan bergetar
tapi tetap menyejukkan
lebih meneduhkan ketimbang membincangkan
kesedihan, keruwetan, kegelisahan
yang tak tertampung di rumah ini

Kau membisik, “Mari merawat puisi-puisi di rumah ini.”
dan aku mengamini

Malang, 20 September 2017

*Ana Widiawati lahir di Banyuwangi 21 tahun silam. Bermukim di Malang dan sedang menempuh pendidikan di jurusan Hubungan Internasional Universitas Brawijaya. Masih aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Perspektif (LPM Perspektif). Karya-karya cerpen dan puisinya pernah nangkring di Solo Pos, Radar Banyuwangi, dan buku-buku antologi.