Anggaran Terbatas, Edukasi Kebencanaan untuk Pelajar Masih Minim

Siswa-siswi kelas V MI Darul Hikam, Desa Torongrejo, Kota Batu saat mengikuti proses belajar mengajar di kelas darurat, setelah ruang kelas rusak diterjang puting beliung, Jumat (28/10).(Miski)
Siswa-siswi kelas V MI Darul Hikam, Desa Torongrejo, Kota Batu saat mengikuti proses belajar mengajar di kelas darurat, setelah ruang kelas rusak diterjang puting beliung, Jumat (28/10).(Miski)

MALANGVOICE – Memasuki musim penghujan, sejumlah bencana alam mulai berlangsung di beberapa daerah, tak terkecuali yang melanda Kota Batu.

Pada Kamis (27/10), hujan deras disertai angin kencang melanda Kota Batu. Lima lokasi diterjang dalam waktu bersamaan. Di antaranya pohon dan tiang PJU roboh menimpa dua mobil dan satu sepeda motor di Jalan Panglima Sudirman, seorang pengendara mengalami luka cukup parah.

 Ruang kelas V MI Darul Hikam Kota Batu rusak usai diterjang puting beliung, Kamis (27/10). (miski)
Ruang kelas V MI Darul Hikam Kota Batu rusak usai diterjang puting beliung, Kamis (27/10). (miski)

Tersumbatnya drainase di Jalan Agus Salim mengakibatkan empat rumah warga kemasukan air setinggi 20 cm. Selanjutnya, satu mobil dinas SKPD rusak setelah kejatuhan genting di Balai Kota Among Tani.

Empat atap rumah warga di Desa Pesanggrahan rusak dihantam puting beliung, serta ruang kelas V MI Darul Hikam di Desa Torongrejo rusak parah setelah diterjang puting beliung. Tembok kelas yang terbuat dari asbes di lantai dua itu jebol bagian sebelah timur dan utara, sebagian atap kelas lain juga ikut rusak.

Pasca bencana, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) melakukan tanggap darurat. Di MI Darul Hikam, petugas mendirikan tenda berukuran sedang sebagai kelas darurat. Tujuannya agar proses belajar mengajar tetap berlangsung.

Pada Jumat (28/10), pagi, wartawan Mvoice mendatangi sekolah. Melihat langsung proses belajar mengajar siswa di kelas darurat. Tenda yang dibangun di halaman sekolah beralaskan terpal, bangku belajar siswa serta papan tulis.

Empat belas orang siswa kelas V terlihat bersemangat mengikuti pelajaran pagi itu, meski belajar dengan suasana lesehan dan kepanasan, siswa-siswa memaklumi kondisi tersebut.

“Kurang konsentrasi belajarnya karena kepanasan dan lesehan. Ruang kelas kami rusak kena angin,” aku salah satu siswa, M Razia Dealova.

Beruntung saat ruang kelas mereka diterjang puting beliung, proses belajar mengajar masuk waktu istirahat. Siswa-siswa berada di musalla sedang menjalankan salat berjemaah.

“Sedih karena kelas kami rusak, sama guru diminta sabar. Sudah takdir dan kehendak Allah,” ungkap siswa lain, Dafa Syarif Fadilah.

murid4

Kepala Sekolah MI Darul Hikam, Doni Firmansah, mengaku, anak-anak mengerti kondisi yang terjadi di sekolah. Proses belajar mengajar kelas V tetap berjalan dengan baik, yakni belajar di kelas darurat yang dibuat oleh BPBD. Tidak sedikit siswa yang menangis karena ruang kelasnya rusak.

”Anak-anak pada menanyakan, bagaimana kami belajarnya pak. Setelah diberi pengertian, siswa-siswa menerimanya. Di madrasah siswa diajarkan menerima kenyataan dan sabar, sehingga mereka mudah menerima dan mengakui ini bencana alam,” jelasnya.

Doni menyebut, di sekolah yang dipimpinnya terdapat 90 orang siswa, mulai kelas I sampai kelas VI. Selama ini, sekolahnya belum pernah mendapatkan pendidikan dan pelatihan kebencanaan.

Ia menganggap sangat penting pengetahuan kebencanaan bagi siswa, karena bencana tidak diketahui kapan waktunya. Selain itu, siswa akan lebih siap menghadapi bencana, seperti gempa, angin kencang, puting beliung dan bencana lainnya.

“Seharusnya memang ada program tersebut. Kejadian ini menjadi pelajaran dan hikmah bagi kami,” harapnya.

Doni mengakui, minimnya pengetahuan kebencanaan menyebabkan pihak sekolah lambat menyampaikan kejadian tersebut ke BPBD.

”Kami tidak tahu prosedurnya, sehingga kali pertama kami lapor ke Dinas Pendidikan. Sama dinas disuruh lapor langsung ke BPBD,” ungkapnya.

Atas kejadian tersebut, sekolah menelan kerugian sekitar Rp15 juta. Pemerintah berjanji akan memperbaiki kembali ruang kelas.”Wali murid dan sejumlah pihak ikut serta membantu memulihkan. Kami harap perhatian pemerintah ke depan lebih maksimal terhadap sekolah swasta,” paparnya.

Senada diungkapkan Kepala Dinas Pendidikan, Hj Mistin. Ia mengaku pendidikan kebencanaan penting bagi siswa, mulai TK sampai SMA sederajat. Saat ini baru sekadar pemahaman peduli lingkungan, seperti buang sampah pada tempatnya, peduli sungai. Semuanya masuk dalam mata pelajaran muatan lokal.

Mistin menyebut, selama ini belum pernah ada kerja sama dengan BPBD soal pendidikan kebencanaan. Sama halnya dengan alokasi anggaran dan kurikulum kebencanaan. Namun, ia menyadari sekolah cukup aktif dengan memberikan siswanya pendidikan kebencanaan.

“Secepatnya kami siapkan mata pelajaran dan kurikulumnya. Ini penting, apalagi setiap tahun di Batu terjadi bencana, meski tak separah di daerah lain,” ungkap dia.

Di Kota Batu terdapat sekitar 240 sekolah mulai TK sampai SMA sederajat negeri-swasta, dengan jumlah siswa belasan ribu. Sejak tahun 2014, baru 65 sekolah yang sudah mendapatkan pendidikan kebencanaan dari BPBD. Di tahun 2015, satu siswa mengalami luka ringan saat belajar di sekolah akibat tanah longsor.

Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD, Gatot Nugroho, mengungkapkan, selama ini pendidikan kebencanaan belum maksimal. Lambatnya program tersebut lantaran belum ada MoU dengan Dinas Pendidikan.

“Kami masih belum punya gambaran, kalau mau dimasukkan dalam kurikulum harus masuk Mapel apa?. Tapi, MoU perlu dilakukan supaya penyebaran pengetahuan di sekolah maksimal,” kata dia, saat berbincang dengan Mvoice.

Menurutnya, setiap hari siswa menghabiskan 6-8 jam waktunya di sekolah. Dengan mengenalkan mengenalkan potensi ancaman bencana dapat mengurangi risiko bencana.

Selama di sekolah, lanjut dia, siswa menjadi tanggung jawab guru dan kepala sekolah. Sekolah yang sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan diberi pemahaman soal bencana, memetakan masalah, membuat jalur evakuasi, dan simulasi bencana.

Ia mencontohkan, saat terjadi gempa bumi siswa-siswa harus melakukan apa? Setelah reda harus kumpul di mana?.”Kalau terjadi gempa lindungi kepala dengan tas atau berlindung di kolong meja. Setelah gempa reda, siswa-siswa ke luar dan berkumpul di tempat terbuka, bisa di lapangan dan parkir sekolah. Mengantisipasi gempa susulan, terpenting mereka juga mengerti jalur evakuasi,” jelas Gatot.

Pendidikan kebencanaan baru diberikan disela-sela kegiatan ekstrakurikuler, seperti kegiatan pramuka di Hari Jumat dan Sabtu. Namun, selama ini baru siswa yang menerima pendidikan tersebut. Padahal keterlibatan guru dan komite sekolah juga penting.

Gatot juga mengakui anggaran pendidikan kebencanaan sangat terbatas. Keterlibatan Dinas Pendidikan akan membantu dalam percepatan program tersebut. Semisal, Dinas Pendidikan mengalokasikan anggaran untuk pelatihan pada guru tentang kebencanaan. Sebagian sekolah juga kurang merespon niat BPBD dalam penyebaran pengetahuan bencana.

“Guru-guru yang sudah dapat pelatihan kebencanaan nantinya dapat ditularkan dan diajarkan ke siswanya. Kalau kami harus turun ke sekolah-sekolah akan memakan waktu cukup lama. Sekolah yang sudah kami datangi tidak bisa didampingi secara intens, jadi perlu keterlibatan sekolah dan guru langsung. Semisal triwulan sekali dilakukan simulasi kebencanaan secara mandiri,” paparnya.

Ditambahkan, Kota Batu terdiri 24 desa/kelurahan dari tiga kecamatan yaitu Kecamatan Batu, Bumiaji dan Junrejo. Ketiga daerah memiliki tipikal bencana berbeda. Untuk Kecamatan Batu kebanyakan bencana banjir akibat luapan drainase, puting beliung, kebakaran yang diakibatkan kepadatan hunian.

Sedangkan di Kecamatan Bumiaji yang tipikal daerahnya perbukitan sering dilanda bencana longsor. Sementara Kecamatan Junrejo tipikalnya sama dengan dua kecamatan tersebut, banjir, puting beliung, longsor, tanah ambles.

Kabar baiknya di tahun 2017, BPBD Provinsi Jawa Timur akan menyelenggarakan lomba sekolah/madrasah siaga aman bencana.”Kami sudah turun ke sekolah sejak tiga tahun lalu. Tidak semua BPBD di kota/kabupaten melakukannya. Setidaknya lomba ini memacu sekolah lebih peduli pada pencegahan bencana serta mendukung Kota Batu sebagai Kota Layak Anak (KLA),” tambahnya.

Pemahaman Bencana Belum Komprehensif

Bencana adalah peristiwa mengancam dan mengganggu kehidupan yang disebabkan karena faktor alam, nonalam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda serta dampak psikologis.

Dalam peraturan nomor 21 tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana pasal 1 ayat 15 disebutkan, bayi, anak usia di bawah lima tahun, anak-anak, ibu hamil atau menyusui, penyandang cacat dan lanjut usia merupakan kelompok rentan saat bencana.

Pada tahun 2012, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan peraturan nomo 04 tentang pedoman penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana. Pendidikan dasar-dasar kebencanaan harus diberikan kepada rakyat Indonesia sejak dini. Pendidikan dini terhadap siswa SD sampai SMA sederajat wajib dimasukkan ilmu kebencanaan guna membentuk sekolah siaga bencana.

Peraturan tersebut sejalan dengan program United Nation International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) terkait kampanye sejuta sekolah dan rumah sakit aman tahun 2010 dan kerangka aksi Hyogo tahun 2005-2015.

Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mengakui, pendidikan kebencanaan bagi anak-anak dan masyarakat masih sangat minim. Belum banyak kota/kabupaten di Indonesia menyelenggarakan pendidikan tersebut.

Di tahun 2011, pihaknya telah bekerjasama dengan Kemendikbud membentuk sekolah aman dari bencana. Sutopo tidak memungkiri apabila anggaran pendidikan bencana terbatas. Bahkan ada daerah yang tidak memasukkan dalam APBD.

”Sudah banyak kegiatan yang dilakukan, tapi belum semua sekolah melakukannya. Perlu dana dan konsisten untuk melakukannya,” katanya, kepada MVoice, Minggu (30/10).

Dikatakan, pemahaman bencana sejauh ini belum komprehensif. Banyak kalangan menganggap BPBD hanya menangani ketika darurat bencana. Padahal penanganan bencana meliputi semua tahapan, baik pra, saat dan pasca bencana.

Terbukti belum semua daerah membentuk BPBD, karena menganggap BPBD dan pendidikan kebencanaan belum penting. Misal Kota Bandung, Kota Magelang, Kota Salatiga dan lainnya.

“Pengetahuan bencana masyarakat Indonesia meningkat, tapi belum menjadi sikap, perilaku dan budaya. Pendidikan bencana di sekolah penting, karena pengetahuan itu akan menjadi bekal siswa sampai dewasa,” tutupnya.