Ada Tujuh Rangkaian dan Makna Filosofi dalam Tedak Siten

Tradisi tedak siten (Tika)
Tradisi tedak siten (Tika)

MALANGVOICE – Ada tujuh makna dalam prosesi tedak siten atau mudun lemah alias turun tanah.

Budayawan Jawa, Suryadi atau yang lebih dikenal dengan Ki Suryo menjelaskan, upacara untuk bayi usia tujuh bulan itu berisi semua harapan dan arahan dalam hidup.

Saat ditemui di lokasi tedak siten, Candi Jago, Desa dan Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, dia menjelaskan proses awal, bayi dipanjatkan tangga yang terbuat dari tebu.

Orang tua bayi mendampingi dan menuntun dalam semua proses.

tradisi-tedak-siten-tika3

Tebu menurutnya memiliki akronim anteping kalbu atau ketetapan hati dalam menjalani kehidupan.

“Tangga ibarat kehidupan jika tidak sesuai alur, yaitu berjalan lurus ke atas nanti akan roboh,” kata dia.

Selanjutnya, bayi melalui proses napaki jadah atau berjalan di atas jenang yang terbuat dari ketan.

Ada tujuh warna jadah yang dilewati bayi. Ketujuhnya adalah hitam, ungu, biru, hijau, merah, kuning dan putih.

“Maknanya, hidup berawal dari yang gelap dan berakhir dengan terang,” kata dia.

Proses ketiga adalah si bayi dimasukkan dalam kurungan ayam yang diibaratkan sebagai simbol dunia.

Kurungan itu berisi aneka macam mainan mulai yang berbentuk alat dapur hingga musik.

Bayi harus memilih satu dari sekian banyak mainan yang diletakkan dalam kurungan.

tradisi-tedak-siten-tika

Maknanya, lanjut Ki Suryo, itu merupakan simbol si anak memilih profesinya kelak ketika sudah dewasa.

“Semua simbol profesi ada di kurungan. Menjadi semacam penuntun bagi bayi dalam memilih pekerjaan nanti,” imbuh dia.

Usai mengelilingi ‘dunia’, bayi diharuskan memilih gambar tokoh wayang yang dipercaya dapat membentuk karakternya ketika dewasa.

“Makanya anak sekarang walau sudah dewasa tidak punya arah, karena meninggalkan tradisi. Ketika bayi tidak pernah melalui proses ini,” kata kakek satu cucu ini.

Selanjutnya, bayi yang mengikuti prosesi ini dimandikan dengan air dari tujuh sumber.

Ki Suryo menjelaskan, tedak siten cucunya kali ini, Putri Bilqis Maulidia Effendi mengambilkan air dari Sumber Awan, Sumber Nagan, dan Watu Gede di Singosari.

Juga diambilkan air dari Wendit, sekitar Candi Kidal, Jago dan Ngawonggo atau Sumber Jenon di Tajinan.

“Pitu (tujuh) sumber mengandung makna pitulungan. Setiap sumber memiliki warna, rasa dan khasiat sendiri. Harapannya, dalam hidup senantiasa mendapatkan pitulungan atau pertolongan,” kata juru kunci Candi Jago yang akan pensiun ini.

Proses keenam, si bayi ditempatkan dalam tikar yang sudah diberi uang koin dan beras kuning.

Maknanya, rejeki dan kehidupan yang dilambangkan dengan beras. Menurut Ki Suryo, dalam hidup mencari panguripan dan upo (butiran nasi).

Arti filosofi dalam proses ini, meski bergelimang uang dan kesejahteraan jangan sampai terperdaya.

“Tadi cucu saya membagi-bagikan uang kepada orang sekitarnya. Artinya, harus selalu berbagi. Budaya Jawa dan ajaran Islam juga mengajarkan kita untuk berbagi atau sedekah kepada sesama,” kata dia.

Terakhir, proses digaulkan dan dibiarkan bermain dengan teman sebaya. Maknanya, dalam hidup selalu butuh teman dan bersosialisasi.

“Ajaran Islam juga mengajarkan habluminanas atau hubungan baik dengan manusia selain hubungan baik dengan Allah,” kata dia.

Dia berharap, tradisi tedak siten ini bisa dijadikan kearifan lokal di Malang, khususnya di kabupaten.

“Sekarang kita dalam kondisi krisis moral. Anak muda kehilangan sopan santun. Hal ini karena mereka lupa budaya,” tandas dia.